Rabu, 16 Maret 2016

Resensi Paper “Interfaith Dialogue From The Perspektif Of Islamic (Quranic Worldview : A Reconstruction of the Reader’s Role) Perbandingan Pemikiran Hassan Hanafi, Muhammad Abid al-Jabiri dan Nurcholis Madjid oleh Prof. K.H Yudian Wahyudi, Ph.D., dalam buku Jihad Ilmiah Dua : Dari Harvard ke Yale dan Princeton”

Resensi ini akan membahas secara singkat makalah/paper yang dipresentasikan Prof. K.H Yudian Wahyudi, Ph.D di Harvard Law School tanggal 16 April 2003. Mengapa paper/makalah ini ditulis, diangkat dan diresensi oleh penulis karena belakangan ini tema tersebut menjadi relevan dengan situasi dan kondisi Bangsa ini. Dimana-mana kita dapat melihat tindakan-tindakan yang menjurus kepada intoleransi, menyebabkan kegaduhan dan pertentangan kemudian bermuara kepada tindakan kekerasan atas nama sebuah keyakinan. Pertentangan yang tidak didasarkan pada perdebatan intelektual namun hanya bersandar kepada kepentingan argumentasi diatas permukaan dan tidak mendalam. Untuk itu penting kiranya menurut penulis, perspektif yang sangat baik dan tepat dapat kita pelajari dari pandangan dari tulisan dan pemaparan Prof. K.H Yudian Wahyudi, Ph.D, Tentang perbandingan pemikiran Hassan Hanafi (Mesir), Muhammad Abid al-Jabiri (Maroko) dan Nurcholis Madjid (Indonesia).
Paper Prof Yudian memulai dengan pentingnya dialog antaragama pasca tragedi 11 september 2002. Dialog antara agama yang dimaksudkan adalah dialog yang bersifar teoritis dan mendalam yang didasarkan kepada pandangan intelektual Muslim yang otoritatif dan telah dipertanggungjawabkan. Selama ini dialog yang dilakukan hanya bersifat historis dan didominasi oleh bahasan nilai-nilai bersama saja dengan menyampingkan tulisan pemikir-pemikir Muslim yang sebenarnya sangat diperlukan untuk dapat mengetahui secara lebih mendalam dan menyeluruh pandangan Islam berkaitan dengan wacana dialog antaragama. Prof Yudian kemudian menggunakan kacamata hukum Islam dalam membahas dialog antaragama dengan menerapkan Averroeisme sebagai metode. Averroeisme bertumpu kepada prinsip-prinsip epistemologi Ibn Rusyd yang tertuang dalam “trilogi metodis”-nya yaitu Metode Kaum Teolog, Titik Temu Agama dan Filsafat serta Awal Mujtahid. Metode ini merupakan instrumen analisa utnuk memabandingkan gagasan tiga pemikir besar Islam modern yaitu Hassan Hanafi,  al-Jabiri dan Cak Nur (Nurcholis Madjid).
Dalam diskusi ini fokus pertama Prof Yudian adalah memberikan pemaparan dengan metode perbandingan  (Komparatif Manahij), kedua menggunakan pendekatan fikih Fasl-ul-maqal (Titik Temu Agama dan Filsafat) untuk mendinginkan hubungan antara filsafat dan agama. Pendekatan tersebut akan diterapkan pada topik ini dengan pertanyaan : apa hukum melakukan dialog antaragama ?  apakah wajib, mandut (sunat), mubah, makruh, atau haram?  Dimana pula posisi dialog antaragama dalam maqashid syariah (tujuan hukum Islam). Walaupun akan membandingkan pandangan Hanafi, al-Jabiri dan Cak Nur dari kacamata fikih, Prof Yudian tidak akan memberikan pendapat siapa yang benar atau salah, lebih kuat atau lemah.  

Pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur)
Pada tingkatan Hablumminannas (relasi sosial-politik) dengan mengambil contoh Indonesia yang secara konstitusional mengakui Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu sebagai agama, Cak Nur menjelaskan bahwa hak pengikut agama-agama ini untuk hidup dan beribadah diakui oleh UUD 1945. Lebih lanjut Cak Nur menjustifikasi dengan merujuk kepada kalimat sawa’ (Q. 3 :64), sebuah prinsip yang disamakan dengan “titik temu” atau “landasan bersama” oleh Cak Nur. Terjemahan Surat Ali Imran (ayat 64) tersebut adalah “Katakanlah (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (kalimat sawa’) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mepersekutukanNya dengan apapun juga, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), saksikanlah bahwa kami adalah Muslim”
Cak Nur meminta umat Islam di Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai titik temu atau landasan bersama antara mereka dan non-Muslim Indonesia, karena pancasila sangat sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Lebih lanjut Cak Nur menegaskan kembali pandangan Bung Hatta bahwa sila pertama Pancasila merupakan manifestasi konstitusional rukun Islam yang pertama, yaitu tauhid (Tiada Tuhan Selain Allah). Cak Nur memberikan alasan mengapa menjadikan Pancasila sebagai kalimat sawa’ bagi bangsa Indonesia (khususnya bagi para pengkritiknya yang menggunakan ayat “Barangsiapa tidak menghukumi berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang kafir” Q.5:44-45) bahwa Pancasila merupakan manifestasi politik ajaran Al-Quran tentang musyawarah dalam konteks Indonesia, karena berdasarkan pada konsensus (ijmak) Indonesia maka Pancasila mengikat bagi bangsa Indonesia. Khususnya bagi umat Islam Indonesia yang berkewajiban memenuhi janji (kontrak). Untuk mendekati umat Islam Tradisional di Indonesia, Cak Nur memperkuat Ijtihad ini dengan konsep kontrak sosial gagasan Imam al-Mawardi yang merupakan satu-satunya prosedur yang sah untuk memilih pimpinan Islam.
Pancasila, dalam sila pertama tidak menghadakan masalah kepada umat Islam Indonesia dalam kaitannya dengan umat Kristen dan Katolik Indonesia karena mereka adalah Ahli Kitab. Namun demikian, tidak seperti halnya Yahudi (yang hampir tidak dikenal di negara Pancasila) dan Kristen, agama-agama non-Ibrahim (Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu) menghadapkan persolan teologis kepada umat  Islam Indonesia. Problem ini tidak ada di tempat lain terutama Mesir (Hassan Hanafi) dan Maroko (Muhammad Abid al-Jabiri). Cak Nur mendorong umat Islam Indonesia untuk mengabggap ketiga komunitas ini sebagai ahli kitab karena umat Hindu, Budha dan Kong Hu Cu pada mulanya menerima kitab suci mereka dari Tuhan tetapi kemudian tersimpangkan. Dalam Al-Quran kata Cak Nur, Allah hanya menceritakan sebagian, bukan keseluruhan, kisah nabi-nabiNya (Q.40 : 78) . Akan keluar dari konteks tradisi Ibrahim kata Cak Nur andaikata Al-Quran diwahyukan dengan kisah-kisah agama non Ibrahimi seperti Hindu Budha dan Kong Hu Cu kepada audiens Muhammad yang hampir total Ibrahimi. Lebih penting lagi Al-Quran mempertegas bahwa Allah menggunakan “metode” (syir’ah dan minhaj) pada setiap umat (Q.5:48) dan setiap rasul atau nabi berbicara dengan bahasa kaumnya (Q.14:4). Jadi menurut kesimpulan Cak Nur, sangatlah mungkin bahwa agama Hindu, Budha dan Kong Hu Cu termasuk dalam kategori ini.       

Pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri
Seperti halnya Cak Nur, al-Jabiri menafsirkan kalimat sawa dalam konteksnya sendiri. Al-Quran bagi al-Jabiri, mulai dengan menganggap orang-orang Kristen bukan sebagai “orang lain” dalam pengertian Eropa dari kata itu, tetapi sebagai bagian dari banyak “orang lain” yang diakui oleh Al-Quran sebagai orang saleh yang kesemuanya seperti halnya umat Islam, sama di hadapan Allah (Q.2 : 62). Dalam rangka mencapai kohesivitas sosial yang sama, al-Jabiri menganjurkan tema “positive otherness” dengan menjelaskan bahwa kalimat sawa’, dalam konteks nasionalnya sendiri, bukan hanya diarahkan kepada orang-orang Kristen Arab tetapi juga kepada orang-orang Kristen secara umum dikarenakan sikap positif terhadap Kristen (Barat) Bizantium yang terekam dalam Al-Quran (Q. 30 : 1-6). Dalam rangkaian ayat ini, Al-Quran menjanjikan kemenangan kepada Bizantium-Romawi dalam peperangannya melawan persia pada saat kelahiran Islam, zaman ketika orang-orang Kristen Romawi, seperti halnya orang-orang Kristen Arab, hanyalah semata-mata “orang lain” dan tetangga yang damai pada tingkat keagamaan dan praktis.
Al-Jabiri juga menganggap kesepakatan atau ijmak sebagai sarana untuk menjawab berbagai kebutuhan dalam berbagai tingkatan. Mengingat teladan historis Quran di atas mengenai relasi Islam-Kristen, al-Jabir mengusulkan agar kalimat sawa’ memainkan kembali peranannya dalam menyatukan Yahudi, Kristen dan Islam pada tingkat horizontal kemanusiaan (muammalah), dengan menjadikan muqashid syariah sebagai budaya damai yang menyatukan mereka. Berbeda dengan Cak Nur yang menyimpulkan bahwa kalimat sawa’ itu harus bertolak dari pandangan bahwa semua agama tidak terkecuali Hindu, Budha dan Kong Hu Cu (dalam konteks Indonesia) adalah sama dan diakui sebagai Ahli Kitab oleh Al-Quran, al-Jabiri menegaskan Islam sebagai satu-satunya agama di mata Allah, tetapi mengakui bahwa pengetahuan merupakan hak asasi dalam pengertian bahwa Allah tidak menghukum orang-orang yang belum kedatangan risalah Allah. Masalahnya adalah bagi al-Jabiri berbeda karena dia tidak dihadapkan pada keharusan memperluas definisi ahli kitab ke dalam agama-agama non-Ibrahim seperti Hindu, Budha dan Kong Hu Cu dikarenakan agama-agama ini hampir tidak ada di Maroko. Di sisi lain al-Jabiri menghimbau kesatuan umat Yahudi, Kristen dan Islam Arab di bawah panji-panji kalimat sawa’, suatu strategi yang juga digunakan Hanafi untuk mengajak ahli kitab Mesir untuk bergabung dengan Kiri Islamnya demi memperkuat persatuan tanah air, sejarah dan nasionalisme mereka melawan dominasi asing.

Pemikiran Hassan Hanafi
Sama seperti Cak Nur dan al-Jabiri dalam merumuskan dan menerapkan kalimat sawa’, Hanafi menggunakan kalimat sawa’ untuk menghilangkan keslahpahaman antara Kiri Islamnya dengan apa yang dia sebut “Saudara Se-Tuhan” dan “Saudara Se-Bangsa”. “Saudara Se-Tuhan pada umumnya adalah anggota Al-Ikhwan al-Muslimun, sedangkan “Saudara Se-Bangsa” pada umunya adalah kaum Marxis, Nasseris dan kaum Liberal. Hanafi  menyebut kelompok pertama sebagai “Saudara Se-Tuhan” karena Al-Ikhwan dan Kiri Islam Hanafi memliki akar yang sama dalam tradisi Islam. Di samping itu kedua-duanya bermaksud menghidupkan kembali progresivitas Islam.
Dalam usahanya mempromosikan persatuan antara Kiri Islamnya dengan “Saudara Se-Bangsa”, Hanafi pertama-tama mengatakan bahwa Kiri Islam dan Marxis Mesir dipersatukan oleh tanah air mereka yaitu Mesir. Pada waktu yang sama ia mendefenisikan kaum Nasseris sebagai “Saudara dalam Revolusi”. Kiri Islam mendukung Nasserisme dan Al-Ikhwan karena, seperti halnya mereka, Kiri Islam menentang tirani dan ketidakadilan tetapi mendukung progres, kesatuan, kebebasan dan sosialisme. Bahkan menurut Hanafi kaum Liberal sebagai “Saudara dalam Kebebasan” karena Kiri Islam dan kaum Liberal memiliki tujuan yang sama dalam membela kaum yang tertindas sekaligus menyebarkan kebebasan, demokrasi dan keadilan sosial dalam Islam yaitu Renaissans Islam. Singkatnya Kiri Islam bermaksud menyempurnakan apa yang telah dimulai kaum Liberal. Sejalan dengan Cak Nur dan al-Jabiri, Hanafi juga berusaha menerapkan konsep siyasah-syari’ah untuk memecahkan problem hubungan Islam dan nasionalisme dalam negara mereka masing-masing pada tingkat horizontal kemanusiaan, persis seperti yang dilakukan nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi dan Kristen dalam kontrak sosial politik yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah.   
Dapat disimpulkan bahwa melakukan dialog antaragama berarti pula melakukan dialog peradaban. Wajib hukumnya melakukan dialog antaragama demi keselamatan, kedamaian dan keamanan umat manusia. Salah satu makna islam dan iman adalah proses menuju keselamatan, kedamaian dan keamanan. Dengan demikian posisi dialog antaragama dalam maqashid syariah berada pada tingkatat “daruri” (niscaya) yang bertujuan melindungi agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan. Tanpa dialog kehidupan akan rusak. Dalam konteks Cak Nur, karena pancasila sangat sejalan dengan maqashid syariah (tujuan hukum Islam) maka menerima agama Hindu, Budha dan Kong Hu Cu sebagai ahli kitab Indonesia sama dengan melindungi persatuan Indonesia (suatu manifestasi kesatuan ketuhanan dan kemanusiaan dalam konteks nasional Indonesia). Al-Jabiri pun berusaha untuk mempersatukan umat Islam, Yahudi dan Kristen Arab  (minimal Maroko) di bawah bendera kalimat sawa’ dan payung budaya damai maqashid syariah. Hanafi pada gilirannya bertekad untuk melindungi kepentingan Mesir melalui maqashid syariah. Namun demikian Hanafi dan Cak Nur menekankan fleksibelitas kaedah-kaedah fikih, dengan menandaskan bahwa “hukum dapat berubah jika sebab, ruang, waktu dan pelakunya berubah”. Ini merupakan sebuah konsep yang sangat strategis karena memungkinkan mereka untuk mempertahankan berbagai pandangan yang berbeda tentang Marxisme.
Hanafi menyambut Marxisme sebagai sarana untuk mempersatukan Mesir dikarenakan pengaruhnya yang sangat kuat dalam kancah politik dan memasukannya ke dalam naungan bendera “Suadara se-Bangsa”. Di sisi lain, Cak Nur sama sekali tidak bermaksud menjustifikasi Marxisme dalam konteks ahli kitab. Bahkan, ia mengutuk Marxisme sebagai ancaman bagi persatuan Indonesia (mengingat G30S/PKI yang menyebabkan PKI dilarang) dari kacamata Indonesia, Hanafi lebih Soekarnois dalam menganggap Marxisme sebagai faktor pemersatu, sedangkan Cak Nur cenderung Soehartois dalam menilai Marxisme sebagai disintegerasi. Al-Jabiri, pada gilirannya akan menolak segala macam ekstrimisme, termasuk Marxisme. Dari penafsirannya yang moderat dan toleran atas maqashid syariah seperti Hanafi, al-Jabiri tidak pernah diperhadapkan pada problem pluralitas keagamaan seperti Cak Nur yang harus mengakomoadasi mereka masuk ke dalam definisi ahli kitab. Akhirnya, ketiga pemikir ini setuju bahwa penafsiran mereka tidak mengikat siapun kecuali dilegitimasi melalui ijmak. Namun demikian tidak seperti Cak Nur yang melandaskan penafsiran ijmaknya pada UUD Republik Indonesia, Hanafi dan al-Jabiri terbuka untuk menerima berbagai tingkat ijmak tergantung pada kebutuhan.  Kemauan mereka untuk memasukan non-Muslim dalam konsensus di negara masing-masing sangat sejalan dengan konsep masyarakat madani (civil society) kontemporer dan menghormati norma-norma Internasional. Sebuah sikap yang menghormati standar perilaku Al-Quran dan apa yang dapat dijelaskan sebagai toleransi intrinsik dan asli Al-Quran kepada “orang lain”.

Kesimpulan
Sudah sangat jelas apa yang dipaparkan oleh Prof Yudian dalam papernya melalui tiga pemikir raksasa dunia Islam, yang seharusnya bisa menghentikan segala bentuk pertikaian atas nama agama yang belakangan marak terjadi di Indonesia. Sensivitas keyakinan apabila mendapat penangangan yang benar dan tepat sesungguhnya bisa menjadi sangat cair dan fleksibel. Pergulatan pemikiran seperti yang dilakukan oleh Cak Nur, al-Jabiri dan Hanafi tidak lain adalah untuk mencari formulasi yang tepat guna mengharmonisasi kehidupan bermasayarakat sekaligus bernegara, yang dalam prakteknya banyak terdapat lubang-lubang kecil. Sebagai negara yang sangat majemuk, Indonesia sangat memerlukan pemikiran keislaman yang bisa mengakomodir “orang lain” demi persatuan bangsa. Seluruh rakyat Indonesia adalah “Saudara se-Bangsa” yang harus hidup dan berjuang bersama demi keselamatan, kedamaian dan keamanan negara. Inilah alasan mengapa resensi ini penting untuk ditulis. 

PP No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia Dalam Tinjauan Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis)

PENDAHALUAN
      Latar Belakang
Semua negara di dunia tentunya menginginkan adanya ketertiban di dalam masyarakat, ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban yang diatur oleh hukum. Ketertiban di dalam masyarakat akan melahirkan ketentraman dan keseimbangan yang otomastis ikut menjaga stabilitas nasional dalam suatu negara. Indonesia memiliki sejarah panjang di bidang hukum dimulai dengan dianutnya hukum kolonial, berlakunya hukum adat di sebagaian masyarakat dan sampai pada harmonisasi hukum agama (Islam) dengan hukum nasional. Semua pergulatan panjang tentang subtansi norma di dalam hukum yang dilalui Indonesia diatas adalah demi menjaga ketertiban di dalam masyarakat.
Masyarakat akan tertib apabila ada jaminan perlindungan hak-hak sebagai warga negara oleh negara. Perlindungan hak-hak yang dimaksud adalah dimana semua masyarakat tanpa membeda-bedakan mendapatkan dengan penuh semua kebutuhan dasarnya. Dan yang paling penting dari semuanya adalah hak atas tanah. Karena dari tanah masyarakat akan mampu mengembangkan dan mendapatkan kebutuhan mereka yang lainnya. Tanah pada hakekatnya adalah milik seluruh rakyat yang telah hidup mulai dari lahir sampai meninggal dan turun temurun dalam suatu teritorial daerah, sebelum suatu  negara secara formal terbentuk atau yang dikenal dengan istilah tanah ulayat.[1] Sementara apabila sutu negara yang lahir kemudian dapat menguasainya hanya semata –mata untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya.
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) merupakan suatu upaya bangsa Indonesia untuk menata dan memandu pembaharuan di bidang agraria / pertanahan demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia yang sebelumnya dijajah belanda dengan klasifikasi kepemilikan tanah yang sesuai dengan kepentingan kolonial. Salah satu tujuan dari UUPA ini adalah untuk menghapuskan dualisme di bidang hukum tanah dengan cara mencabut  Agrarische Wet 1870 beserta ketentuan-ketentuan terkait lainnya, dan mendasarkan diri kepada hukum adat karena hukum adat dianggap bersumber kepada kesadaran hukum rakyat.[2]
Hak barat dan hak adat dikonversi oleh UUPA menjadi hak-hak baru yang secara teoritis telah tercapai unifikasi dalam hukum tanah di Indonesia dewasa ini. Akan tetapi unifikasi dalam bentuk tidak selalu dengan sendirinya berarti telah terdapat kesatuan pengertian mengenai isinya. Masalah yang kemudian muncul adalah :
1.    Pengertian-pengertian yang kabur dari beberapa ketentuan
2.    Belum adanya peraturan pelaksanaan
3.    Peraturan pelaksanaan tidak dijalankan sesuai dengan isi dan jiwanya
Untuk itu perbaikan yang menyeluruh harus dilakukan oleh negara melalui bidang terkait agar dapat mengatasi ketiga masalah tersebut. Peratuaran pelaksanaan yang dianggap dapat menjadi jalan keluar bagi ketidaksempurnaan UUPA harus bisa menafsirkan jiwa dan semangat UUPA dalam upaya melindungi hak-hak atas tanah rakyat Indonesia.
Pada penghujung tahun 2015 Pemerintah Indonesia secara resmi mengeluarkan dan memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia. PP No 103 Tahun 2015 tersebut sekaligus mencabut pemberlakuan PP No 41 Tahun 1996 yang sebelumnya juga mengatur terkait tempat tinggal dan hunian orang asing yang berkedudukan di Indonesia. PP No 103 Tahun 2015 menyebutkan bahwa orang asing yang bertempat tinggal di indonesia dapat memliliki properti dengan hak pakai selama 70  tahun (termasuk pembaharuan selama 30 tahun). Yang pada PP sebelumnya yakni PP No 41 Tahun 1996 jangka waktu hak pakai hanya 50 tahun  (termasuk pembaharuan hak pakai selama 25 tahun).
Jika di lihat dalam ketentuan PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah,  jangka waktu hak pakai maksimal 25 Tahun. Hal ini berpotensi memunculkan masalah dalam praktek jika terdapat beberapa aturan pelaksana yang tidak sinkron satu dengan lainnya, seperti yang di jelaskan diatas. Dari sisi lain semangat PP No 103 Tahun 2015 diragukan dari segi perlindungan warga negara Indonesia yang semakin hari sangat kesulitan mendapatkan akses properti yang layak dengan harga terjangkau. Dengan kata lain diberlakukannya PP No 103 Tahun 2015 akan menjadikan warga negara asing yang mempunyai kemampuan modal serta akses kapital yang tinggi yang tentu meninggalkan rakyat Indonesia dari segi kepemilian properti untuk hajat hidup. Indikasi ketidaknetralan Hukum  (PP No 103 Tahun 2015) dan keberpihakan hukum pada ideologi tertentu menjadi relevan untuk bisa dianalisa menggunakan pendekatan Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis).


       Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu  Bagaimanakah Tinjauaan Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis) terhadap PP No 103 Tahun 2015 ?

PEMBAHASAN

      Subtansi Norma PP No 103 Tahun 2015
Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, terdiri dari 13 pasal yang saling kait-mengait mengatur tentang pemilikan properti orang asing dengan alas hak berupa Hak Pakai. Pasal yang paling inti dan menjadi ruh peraturan pemerintah ini serta pengaturan norma baru yang berbeda dari PP sebelumnya terdapat dalam pasal 3, 6 dan 7. Pasal 3 Mengatur :
1)   Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya.
2)   Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.
Ketentuan ini sekaligus mensejajarkan hak warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara biasa, namun yang menjadi kendala adalah perjanjian pemisahan harta yang di syaratkan ayat (2) pasal 3 diatas jarang dibuat oleh warga negara Indonesia yang menikah denga warga negara asing. Ketiadaan perjanjian pemisahan harta mengakibatkan warga negara Indonesia dipersamakan dengan warga negara asing. 
Selanjutnya pada pasal 6 dan 7 memiliki muatan norma baru yang sekaligus mencabut keberlakuan norma sebelumnya dan menjadi sasaran kajian. Pasal 6 berbunyi :
1)   Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf aangka 1, diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
2)   Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
3)   Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Hak Pakai dapatdiperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 7 :
1)   Rumah Tunggal di atas tanah Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a angka 2 diberikan Hak Pakai untuk jangka waktu yang disepakati tidak lebih lama dari 30 (tiga puluh) tahun.
2)   Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Hak Pakai dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah.
3)   Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sesuai kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah.
Pasal 6 mengatur rumah tunggal yang diberikan di atas tanah hak pakai dan pasal 7 mengatur rumah tunggal di atas tanah hak pakai di atas hak milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian, yang kedua-duanya memiliki jangka waktu yang sama.
Apabila kita memeriksa ketentuan yang ada di dalam PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, maka akan terdapat perbedaan yang sangat berpotensi memunculkan perdebatan. Pasal 45 PP No 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa :
1)   Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2)   Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama.
3)   Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada :
a)      Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
b)      Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;
c)      Badan keagamaan dan badan sosial.
Sebenarnya jika kita merujuk kepada PP No 41 Tahun 1996 (yang kemudian digantikan dengan PP No 103 Tahun 2015) Tentang  Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia terdapat kesamaan dan pengaturan norma yang selaras dengan PP 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 5  PP No 41 Tahun 1996 menyebutkan :
1)   Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun.
2)   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian yang baru, sepanjang orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Dapat di lihat dari kedua peraturan pemerintah yang di buat pada tahun 1996 ini, telah memuat kesamaan norma dan sesuai dengan maksud dan isyarat UUPA. Subtansi norma yang terkandung di dalam PP 103 tahun 2015 terutama di dalam pasal 6 dan 7 telah menimbulkan ketidaksesuaian yang berakibat pada penerapan norma tersebut. Jangka waktu hak pakai yang menjadi core norm perubahan dari peraturan pemerintah tersebut telah membalikkan keadaan hukum di bidang pertanahan dan properti yang selama telah mapan terbangun dalam bingkai dua peraturan pemertintah yakni PP No 40 dan 41 Tahun 1996. Selain itu PP 103 Tahun 2015 terkesan dipaksakan pemberlakuannya oleh negara sehingga akan berdampak pada benturan norma yang sudah pasti membuat kegaduhan dan kebingungan dalam praktek.

      Tinjauan Singkat Tentang Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis)
Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis) yang kemudian akan disingkat CLS berkembang di Amerika Serikat pada dasawarsa 1970an, terutama melalui Conference on Critical Legal Studies pertama yang diselenggarakan pada tahun 1977 yang mendapat dukungan dari Critique du Droit di Perancis dan Critical Legal Conference di Inggris. Gerakan CLS tumbuh dan berkembang dalam periode kekecewaan era pasca perang Vietnam untuk mengembangkan gagasan mengenai hukum dan lembaga hukum dengan menciptakan suatu pandangan alternatif mengenai hukum dan masyarakat guna meningkatkan visi subtantif mengenai kepribadian manusia.[3] Aliran atau teori CLS ini memiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut :
1)   CLS ini mengeritik hukum yang berlaku yang dalam kenyataannya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral.
2)   CLS ini mengeritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3)   CLS ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.
4)   CLS ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran CLS ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum.
5)   CLS ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikan, aliran CLS ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis.[4]
Menurut Pendapat Ahli Hukum Amerika Serikat yang dikenal sebagai pencetus CLS yakni Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis atau CLS sangat concern mengeritik hukum yang dilahirkan dari birokrasi (bureaucratic law) atau dalam bahasa CLS disebut Hukum Pengatur (regulartory law). Hukum birokratis menurut CLS terdiri dari peraturan-peraturan eksplisit yang ditetapkan dan ditegakkan oleh pemerintah yang sah. Dimanapun hukum birokratis muncul, ada satu negara yang relatif secara efektif menentukan kekuasaan berbagai kelompok yang boleh dilaksanakan terhadap satu sama lain. Keadaan ini konsisten dengan pengakuan bahwa dari perspektif yang lebih luas, relasi-relasi kekuasaan di antara kelompok- kelompok ini dapat menentukan seperti apa pemerintahannya dan apa yang dapat diperbuat pemerintahan itu.[5]
Hukum pengatur (bureaucratic law) tidak memiliki karakteristik universal kehidupan sosial, hukum ini hanya terbatas pada situasi-situasi yang memisahkan negara dengan masyarakat. Sebagian standar perilaku berbentuk preskripsi (peraturan yang mengikat) eksplisit, larangan atau izin yang ditujukan pada kategori umum orang dan tindakan. Tipe seperti ini merupakan ciri utama hukum birokratis karena hukum ini menjadi bagian dari wilayah administrasi penguasa terpusat dan pejabat-pejabat khususnya. Hukum seperti ini sengaja diberlakukan oleh pemerintah, bukan tercipta secara spontan oleh masyarakat.[6] Dengan kata lain Pemerintah yang mewakili birokrasi sering kali mengeluarkan peraturan yang sangat tidak relevan dengan kondisi masyarakat terkini atau cenderung merugikan masyarakat, dan disinilah CLS bekerja untuk mengkritik dan membongkar serta memperbaiki buruknya implementasi hukum birokrasi.
Lebih lanjut Roberto M. Unger menjelaskan bahwa Teori Hukum umum seringkali digunakan sebagai perlindungan ideologis bagi keputusan-keputusan yang diperintahkan oleh kekuasaan dan pemeliharaan ketidakadilan. Dari ketimpangan teori hukum umum tersebut muncul berbagai pertentangan-pertentangan yang dapat mengakibatkan keputusan menjadi melantur.[7] Selanjutnya apabila kita mengamati apa yang diajarkan oleh aliran CLS, ternyata premise yang dikembangkan oleh aliran legal realisme juga juga menjadi inspirasi penganut CLS. Menurut penganut CLS karena hukum bukan berdasarkan kebenaran yang objektif, melainkan hanya berdasarkan kekuasaan, maka hukum hanya merupakan alat kekuasaan bagi penguasa.[8]
Pada saat lahirnya CLS, para penganutnya mengkritik pandangan tradisional atas hukum dalam kenyataannya, baik hukum di negara maju seperti hukum di tempat lahirnya ajaran ini, yaitu Amerika Serikat, tetapi juga sebenarnya lebih terasa kritikannya itu untuk hukum yang belum berkembang di negara-negara dunia ketiga, termasuk hukum yang ada di Indonesia. Karena itu tidak mengherankan jika semua pandangan kaum fundamentalis dalam hukum yang dalam hal ini dikritik oleh CLS jelas berlaku juga di Indonesia. Bahkan anggapan kaum fundamentalis hukum seperti hukum itu objektif, tertentu dan netral, yang menjadi bulan-bulanan kritikan dari CLS tersebut sebenarnya bukan merupakan hukum dalam kenyataan di Indonesia. Atau dengan kata lain hukum di Indonesia jelas tidak objektif, tidak tertentu dan tidak netral.[9]

      PP No  103 Tahun 2015 Dalam Tinjauan Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis)
Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, ketika diterbitkan sesungguhnya tidak terlalu mendapat perhatian yang luas dari masyarakat. PP 103 Tahun 2015 tersebut kemudian menjadi perhatian manakala yang menjadi point perubahan adalah jangka waktu hak pakai sebagaimana yang temuat di dalam pasal 6 dan 7 PP 103 Tahun 2015 tersebut. Pasal 6 menyatakan :
1)   Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf aangka 1, diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
2)   Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
3)   Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
Akumulasi dari pemberian jangka waktu hak pakai kepada warga negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia sesuai pasal 6 diatas mencapai 80 (delapan puluh) Tahun. Jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah sebelumnya yakni PP No 41 Tahun 1996, pasal 5 yang menyatakan:
1)   Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat untuk jangka waktu yang disepakati, tetapi tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun.
2)   Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian yang baru, sepanjang orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu hak pakai sesuai dengan isyarat pasal 5 diatas tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun, dengan pembaharuan selama 25 (dua puluh lima) tahun. Latar belakang dari perubahan jangka waktu hak pakai oleh pemerintah lewat PP 103 Tahun 2015 yang menjadi lebih panjang tentu didasari oleh pertimbangan kepentingan ekonomi, mengingat PP ini sangat mendukung dan mempercerah prospek industri properti di Indonesia.
Semangat pemerintah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi sepatutnya harus didukung karena semata-mata demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun disisi lain semangat pemerintah dalam berlari mengejar pertumbuhan ekonomi jangan sampai menabrak apalagi mengobrak-abrik tatanan serta bangunan hukum yang telah mapan terbangun, apalagi mengesampingkan kepentingan rakyat Indonesia untuk bisa memiliki properti di bidang pertanahan dalam situasi yang sangat berat ditengah persaingan dengan warga negara asing. Seperti yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa jangka waktu Hak Pakai sesungguhnya telah lama diatur dalam PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang subtansi normanya memiliki keselarasan dengan PP 41 Tahun 1996, maka sangat tidak bisa di nalar secara hukum apabila pemerintah lewat PP 103 Tahun 2015 (perubahan dari PP 41 Tahun 1996) dengan dalil untuk mengejar pertumbuhan ekonomi menciptakan prodak hukum yang timpang dan tidak berkesesuaian, dimana PP No 40 Tahun 1996 pada kenyataannya belum dicabut keberlakuannya oleh pemerintah.
Apabila dianalisa menggunakan instrumen CLS maka dapat dilihat pola – pola yang terkandung di dalam PP 103 Tahun 2015 mengarah kepada apa yang disebut Roberto M Unger sebagai Hukum Birokrasi (bureaucratic law),dimana hukum yang dibuat pemerintah atau negara yang didalamnya kepentingan masyarakat tidak diikutsertakan. Tidak dimasukannya kepentingan masyarakat Indonesia di dalam PP 103 Tahun 2015 tersebut bisa dilihat dari :
1)   PP 103 Tahun 2015 dalam kenyataannya telah menabrak norma yang ada di dalam PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah secara membabi buta tanpa menghiraukan implikasi hukumnya di dalam praktek.
2)   PP 103 Tahun 2015 Mensejajarkan hak warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara biasa, namun yang menjadi kendala adalah perjanjian pemisahan harta diatas jarang dibuat oleh warga negara Indonesia yang menikah denga warga negara asing. Ketiadaan perjanjian pemisahan harta mengakibatkan warga negara Indonesia dipersamakan dengan warga negara asing. (vide pasal 3) 
3)   PP 103 Tahun 2015 disahkan terlebih dahulu dibanding dengan PP Jaminan Luas Lahan Pertanian. Padahal, PP tentang Jaminan Luas Lahan Pertanian merupakan amanat dari UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan PP Reforma Agraria. Padahal jika dilihat tidak ada urgensi yang memaksa dan mengharuskan PP 103 Tahun 2015 harus segera diterbitkan mengingat masih ada PP sebelumnya yang cukup efektif berlaku. Mestinya pemerintah menerbitkan PP Jaminan Luas Lahan Pertanian dan PP Reforma Agraria ketimbang PP No.103 Tahun 2015. Karena Warga Negara Asing sanggup menyewa, bahkan membeli aset properti dengan harga mahal dengan difasilitasi aturan oleh pemerintah. Namun, petani dan masyarakat tak memiliki tanah (mengontrak) tak kunjung juga difasilitasi pemerintah.
4)   PP No 103 Tahun 2015 mendahulukan serta memfasilitasi kepentingan Warga Negara Asing untuk membeli rumah murah di Indonesia di tengah situasi Rakyat Indonesia yang membutuhkan perumahan dengan harga murah.
5)   PP No 103 Tahun 2015 menunjukan pemerintah lebih pro investasi asing daripada perlindungan hak-hak petani dan masyarakat tak bertanah serta memprioritaskan reforma agraria sebagai basis rencana penguasaan, pemilikan, peruntukan dan penggunaan tanah.
Dalam perspektif  CLS  ke- 5 (lima) alasan pengebirian kepentingan masyarakat dalam proses penerbitan PP No 103 Tahun 2015 diatas adalah contoh Hukum yang berpihak kepada Ideologi dan Kepentingan tertentu dan haruslah dilawan karena bukan merupakan hukum yang baik. Objektif dan Netral merupakan dua kata yang sulit ditemukan dalam rumusan PP No 103 Tahun 2015 apabila menggunakan pendekatan analisa Teori Hukum Kritis (CLS). PP 103 Tahun 2015 merupakan prodak hukum yang dalam analisa Unger adalah hukum birokratis yang muncul di suatu negara yang relatif secara efektif menentukan kekuasaan berbagai kelompok yang boleh dilaksanakan terhadap satu sama lain. Keadaan ini konsisten dengan pengakuan bahwa dari perspektif yang lebih luas, relasi-relasi kekuasaan di antara kelompok- kelompok ini dapat menentukan seperti apa pemerintahannya dan apa yang dapat diperbuat pemerintahan itu.[10] Relasi kekuasaan antar negara dengan pemodal dan kaum kapitalis yang memiliki akumulasi modal lebih banyak dan tak terhingga dari pribumi akan menetukan apa yang akan diperbuat oleh pemerintah.
Indonesia memang terlalu besar untuk diurus hanya oleh satu pemerintahan saja, apalagi satu pemerintahan yang juga masih harus terus menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kapasitasnya untuk membawa bangsanya menuju kehidupan yang sejahtera. Gagasan untuk mengembangkan civil society memang sedikit membantu. Masyarakat yang demikian itu akan mendorong partisipasi kekuatan-kekuatan dalam masyarakat  untuk tampil dan mengurus sendiri kepentingan-kepentingan sosial tertentu di dalam masyarakat.[11] Ketika masyarakat tampil untuk mengurus kepentingannya sendiri maka pemerintah haruslah bisa memfasilitasi dengan tidak mengeluarkan aturan dan kebijakan yang kenetralannya masih harus dipertanyakan. Dan menurut tinjauan serta analisa Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis) /CLS seperti yang telah diuraikan diatas, PP No 103 Tahun 2015 bukanlah hukum yang baik serta harus dicabut keberlakuannya demi kepentingan dan perlindungan terhadap seluruh rakyat Indonesia.

PENUTUP
       Kesimpulan
Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia dalam Tinjauan CLS merupakan prodak hukum yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat Indonesia. Dalam pengertian PP No 103 Tahun 2015 tersebut adalah contoh hukum yang kurang baik dari segi perlindungan terhadap masyarakat Indonesia sesuai amanat Konstitusi dalam usaha untuk mendapatkan properti murah. PP No 103 Tahun 2015 lebih mendukung usaha warga negara asing untuk dapat memiliki hunian yang layak di tengah rakyat Indonesia yang kesusahan menyewa tanah dan tempat tinggal untuk bisa bertahan hidup di negerinya sendiri. Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis) / CLS telah memberikan perspektif yang bisa digunakan untuk menganalisa dan memecahkan persoalan yang terdapat di dalam PP No 103 Tahun 2015.

       Saran
Sebagai langkah penyelamatan segenap Tumpah Darah Bangsa Indonesia diharapkan agar pemerintah Republik Indonesia segera mencabut atau merubah Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, sebagaimana alasan yang telah diurai pada bagian pembahasan diatas. 

Paper ini merupakan bahan Akademik pada Magister Kenotariatan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta 


[1]Erman Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, Jakarta,  Bina Aksara, 1983 Hlm.10.
[2] Ibid.hlm.18
[3]A.Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, MalangSetara Press,Cet II, 2014, Hlm.59.
[4]Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, Hlm.5-6
[5] Roberto M. Unger ,Teori Hukum Kritis, Bandung, Nusa Media, Cet II, 2008, Hlm.65
[6] Ibid. Hlm.66
[7] A. Mukhtie Fadjar, Op.Cit, Hlm.39
[8] Munir Fuady, Op.Cit, Hlm. 23
[9] Ibid.
[10] Roberto M. Unger, Op.Cit, Hlm.65
[11] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2007, Hlm.45


DAFTAR PUSTAKA

A.Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Malang, Setara Press, 2014.
Erman Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, Jakarta,  Bina Aksara, 1983.
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.
Roberto M. Unger ,Teori Hukum Kritis, Bandung, Nusa Media, 2008.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2007.
      Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia.
      Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia.
       Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.