Resensi ini akan
membahas secara singkat makalah/paper yang dipresentasikan Prof. K.H Yudian
Wahyudi, Ph.D di Harvard Law School tanggal 16 April 2003. Mengapa paper/makalah
ini ditulis, diangkat dan diresensi oleh penulis karena belakangan ini tema
tersebut menjadi relevan dengan situasi dan kondisi Bangsa ini. Dimana-mana
kita dapat melihat tindakan-tindakan yang menjurus kepada intoleransi,
menyebabkan kegaduhan dan pertentangan kemudian bermuara kepada tindakan
kekerasan atas nama sebuah keyakinan. Pertentangan yang tidak didasarkan pada
perdebatan intelektual namun hanya bersandar kepada kepentingan argumentasi
diatas permukaan dan tidak mendalam. Untuk itu penting kiranya menurut penulis,
perspektif yang sangat baik dan tepat dapat kita pelajari dari pandangan dari
tulisan dan pemaparan Prof. K.H Yudian Wahyudi, Ph.D, Tentang perbandingan
pemikiran Hassan Hanafi (Mesir), Muhammad Abid al-Jabiri (Maroko) dan Nurcholis
Madjid (Indonesia).
Paper Prof Yudian
memulai dengan pentingnya dialog antaragama pasca tragedi 11 september 2002.
Dialog antara agama yang dimaksudkan adalah dialog yang bersifar teoritis dan
mendalam yang didasarkan kepada pandangan intelektual Muslim yang otoritatif
dan telah dipertanggungjawabkan. Selama ini dialog yang dilakukan hanya
bersifat historis dan didominasi oleh bahasan nilai-nilai bersama saja dengan
menyampingkan tulisan pemikir-pemikir Muslim yang sebenarnya sangat diperlukan
untuk dapat mengetahui secara lebih mendalam dan menyeluruh pandangan Islam
berkaitan dengan wacana dialog antaragama. Prof Yudian kemudian menggunakan
kacamata hukum Islam dalam membahas dialog antaragama dengan menerapkan Averroeisme sebagai metode. Averroeisme bertumpu kepada
prinsip-prinsip epistemologi Ibn Rusyd yang tertuang dalam “trilogi
metodis”-nya yaitu Metode Kaum Teolog, Titik Temu Agama dan Filsafat serta Awal
Mujtahid. Metode ini merupakan instrumen analisa utnuk memabandingkan gagasan
tiga pemikir besar Islam modern yaitu Hassan Hanafi, al-Jabiri dan Cak Nur (Nurcholis Madjid).
Dalam diskusi ini fokus
pertama Prof Yudian adalah memberikan pemaparan dengan metode perbandingan (Komparatif Manahij), kedua menggunakan pendekatan fikih Fasl-ul-maqal (Titik Temu Agama dan Filsafat) untuk mendinginkan
hubungan antara filsafat dan agama. Pendekatan tersebut akan diterapkan pada
topik ini dengan pertanyaan : apa hukum melakukan dialog antaragama ? apakah wajib, mandut (sunat), mubah, makruh,
atau haram? Dimana pula posisi dialog
antaragama dalam maqashid syariah
(tujuan hukum Islam). Walaupun akan membandingkan pandangan Hanafi, al-Jabiri
dan Cak Nur dari kacamata fikih, Prof Yudian tidak akan memberikan pendapat
siapa yang benar atau salah, lebih kuat atau lemah.
Pemikiran
Nurcholis Madjid (Cak Nur)
Pada tingkatan Hablumminannas (relasi sosial-politik)
dengan mengambil contoh Indonesia yang secara konstitusional mengakui Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu sebagai agama, Cak Nur
menjelaskan bahwa hak pengikut agama-agama ini untuk hidup dan beribadah diakui
oleh UUD 1945. Lebih lanjut Cak Nur menjustifikasi dengan merujuk kepada kalimat
sawa’ (Q. 3 :64), sebuah prinsip yang disamakan dengan “titik temu” atau
“landasan bersama” oleh Cak Nur. Terjemahan Surat Ali Imran (ayat 64) tersebut
adalah “Katakanlah (Muhammad): Wahai Ahli
Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (kalimat sawa’) yang sama
antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak
mepersekutukanNya dengan apapun juga, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama
lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah
(kepada mereka), saksikanlah bahwa kami adalah Muslim”
Cak Nur meminta umat
Islam di Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai titik temu atau landasan
bersama antara mereka dan non-Muslim Indonesia, karena pancasila sangat sejalan
dengan prinsip-prinsip Islam. Lebih lanjut Cak Nur menegaskan kembali pandangan
Bung Hatta bahwa sila pertama Pancasila merupakan manifestasi konstitusional
rukun Islam yang pertama, yaitu tauhid (Tiada Tuhan Selain Allah). Cak Nur
memberikan alasan mengapa menjadikan Pancasila sebagai kalimat sawa’ bagi
bangsa Indonesia (khususnya bagi para pengkritiknya yang menggunakan ayat
“Barangsiapa tidak menghukumi berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah,
maka mereka adalah orang kafir” Q.5:44-45) bahwa Pancasila merupakan manifestasi
politik ajaran Al-Quran tentang musyawarah dalam konteks Indonesia, karena
berdasarkan pada konsensus (ijmak) Indonesia maka Pancasila mengikat bagi
bangsa Indonesia. Khususnya bagi umat Islam Indonesia yang berkewajiban
memenuhi janji (kontrak). Untuk mendekati umat Islam Tradisional di Indonesia,
Cak Nur memperkuat Ijtihad ini dengan konsep kontrak sosial gagasan Imam
al-Mawardi yang merupakan satu-satunya prosedur yang sah untuk memilih pimpinan
Islam.
Pancasila, dalam sila
pertama tidak menghadakan masalah kepada umat Islam Indonesia dalam kaitannya
dengan umat Kristen dan Katolik Indonesia karena mereka adalah Ahli Kitab.
Namun demikian, tidak seperti halnya Yahudi (yang hampir tidak dikenal di
negara Pancasila) dan Kristen, agama-agama non-Ibrahim (Hindu, Budha, dan Kong
Hu Cu) menghadapkan persolan teologis kepada umat Islam Indonesia. Problem ini tidak ada di
tempat lain terutama Mesir (Hassan Hanafi) dan Maroko (Muhammad Abid
al-Jabiri). Cak Nur mendorong umat Islam Indonesia untuk mengabggap ketiga
komunitas ini sebagai ahli kitab karena umat Hindu, Budha dan Kong Hu Cu pada
mulanya menerima kitab suci mereka dari Tuhan tetapi kemudian tersimpangkan.
Dalam Al-Quran kata Cak Nur, Allah hanya menceritakan sebagian, bukan
keseluruhan, kisah nabi-nabiNya (Q.40 : 78) . Akan keluar dari konteks tradisi
Ibrahim kata Cak Nur andaikata Al-Quran diwahyukan dengan kisah-kisah agama non
Ibrahimi seperti Hindu Budha dan Kong Hu Cu kepada audiens Muhammad yang hampir
total Ibrahimi. Lebih penting lagi Al-Quran mempertegas bahwa Allah menggunakan
“metode” (syir’ah dan minhaj) pada setiap umat (Q.5:48) dan
setiap rasul atau nabi berbicara dengan bahasa kaumnya (Q.14:4). Jadi menurut
kesimpulan Cak Nur, sangatlah mungkin bahwa agama Hindu, Budha dan Kong Hu Cu
termasuk dalam kategori ini.
Pemikiran
Muhammad Abid al-Jabiri
Seperti halnya Cak Nur,
al-Jabiri menafsirkan kalimat sawa dalam konteksnya sendiri. Al-Quran bagi
al-Jabiri, mulai dengan menganggap orang-orang Kristen bukan sebagai “orang
lain” dalam pengertian Eropa dari kata itu, tetapi sebagai bagian dari banyak “orang
lain” yang diakui oleh Al-Quran sebagai orang saleh yang kesemuanya seperti
halnya umat Islam, sama di hadapan Allah (Q.2 : 62). Dalam rangka mencapai
kohesivitas sosial yang sama, al-Jabiri menganjurkan tema “positive otherness” dengan menjelaskan bahwa kalimat sawa’, dalam
konteks nasionalnya sendiri, bukan hanya diarahkan kepada orang-orang Kristen
Arab tetapi juga kepada orang-orang Kristen secara umum dikarenakan sikap
positif terhadap Kristen (Barat) Bizantium yang terekam dalam Al-Quran (Q. 30 :
1-6). Dalam rangkaian ayat ini, Al-Quran menjanjikan kemenangan kepada
Bizantium-Romawi dalam peperangannya melawan persia pada saat kelahiran Islam,
zaman ketika orang-orang Kristen Romawi, seperti halnya orang-orang Kristen
Arab, hanyalah semata-mata “orang lain” dan tetangga yang damai pada tingkat
keagamaan dan praktis.
Al-Jabiri juga
menganggap kesepakatan atau ijmak sebagai sarana untuk menjawab berbagai
kebutuhan dalam berbagai tingkatan. Mengingat teladan historis Quran di atas
mengenai relasi Islam-Kristen, al-Jabir mengusulkan agar kalimat sawa’
memainkan kembali peranannya dalam menyatukan Yahudi, Kristen dan Islam pada
tingkat horizontal kemanusiaan (muammalah), dengan menjadikan muqashid syariah
sebagai budaya damai yang menyatukan mereka. Berbeda dengan Cak Nur yang
menyimpulkan bahwa kalimat sawa’ itu harus bertolak dari pandangan bahwa semua
agama tidak terkecuali Hindu, Budha dan Kong Hu Cu (dalam konteks Indonesia)
adalah sama dan diakui sebagai Ahli Kitab oleh Al-Quran, al-Jabiri menegaskan
Islam sebagai satu-satunya agama di mata Allah, tetapi mengakui bahwa
pengetahuan merupakan hak asasi dalam pengertian bahwa Allah tidak menghukum
orang-orang yang belum kedatangan risalah Allah. Masalahnya adalah bagi
al-Jabiri berbeda karena dia tidak dihadapkan pada keharusan memperluas
definisi ahli kitab ke dalam agama-agama non-Ibrahim seperti Hindu, Budha dan
Kong Hu Cu dikarenakan agama-agama ini hampir tidak ada di Maroko. Di sisi lain
al-Jabiri menghimbau kesatuan umat Yahudi, Kristen dan Islam Arab di bawah
panji-panji kalimat sawa’, suatu strategi yang juga digunakan Hanafi untuk
mengajak ahli kitab Mesir untuk bergabung dengan Kiri Islamnya demi memperkuat
persatuan tanah air, sejarah dan nasionalisme mereka melawan dominasi asing.
Pemikiran
Hassan Hanafi
Sama seperti Cak Nur
dan al-Jabiri dalam merumuskan dan menerapkan kalimat sawa’, Hanafi menggunakan
kalimat sawa’ untuk menghilangkan keslahpahaman antara Kiri Islamnya dengan apa
yang dia sebut “Saudara Se-Tuhan” dan “Saudara Se-Bangsa”. “Saudara Se-Tuhan
pada umumnya adalah anggota Al-Ikhwan al-Muslimun, sedangkan “Saudara
Se-Bangsa” pada umunya adalah kaum Marxis, Nasseris dan kaum Liberal.
Hanafi menyebut kelompok pertama sebagai
“Saudara Se-Tuhan” karena Al-Ikhwan dan Kiri Islam Hanafi memliki akar yang
sama dalam tradisi Islam. Di samping itu kedua-duanya bermaksud menghidupkan
kembali progresivitas Islam.
Dalam usahanya
mempromosikan persatuan antara Kiri Islamnya dengan “Saudara Se-Bangsa”, Hanafi
pertama-tama mengatakan bahwa Kiri Islam dan Marxis Mesir dipersatukan oleh
tanah air mereka yaitu Mesir. Pada waktu yang sama ia mendefenisikan kaum
Nasseris sebagai “Saudara dalam Revolusi”. Kiri Islam mendukung Nasserisme dan
Al-Ikhwan karena, seperti halnya mereka, Kiri Islam menentang tirani dan
ketidakadilan tetapi mendukung progres, kesatuan, kebebasan dan sosialisme.
Bahkan menurut Hanafi kaum Liberal sebagai “Saudara dalam Kebebasan” karena
Kiri Islam dan kaum Liberal memiliki tujuan yang sama dalam membela kaum yang
tertindas sekaligus menyebarkan kebebasan, demokrasi dan keadilan sosial dalam
Islam yaitu Renaissans Islam. Singkatnya Kiri Islam bermaksud menyempurnakan
apa yang telah dimulai kaum Liberal. Sejalan dengan Cak Nur dan al-Jabiri,
Hanafi juga berusaha menerapkan konsep siyasah-syari’ah
untuk memecahkan problem hubungan Islam dan nasionalisme dalam negara mereka
masing-masing pada tingkat horizontal kemanusiaan, persis seperti yang
dilakukan nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi dan Kristen dalam kontrak
sosial politik yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah.
Dapat disimpulkan bahwa
melakukan dialog antaragama berarti pula melakukan dialog peradaban. Wajib
hukumnya melakukan dialog antaragama demi keselamatan, kedamaian dan keamanan
umat manusia. Salah satu makna islam dan
iman adalah proses menuju
keselamatan, kedamaian dan keamanan. Dengan demikian posisi dialog antaragama
dalam maqashid syariah berada pada tingkatat “daruri” (niscaya) yang bertujuan
melindungi agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan. Tanpa dialog kehidupan
akan rusak. Dalam konteks Cak Nur, karena pancasila sangat sejalan dengan
maqashid syariah (tujuan hukum Islam) maka menerima agama Hindu, Budha dan Kong
Hu Cu sebagai ahli kitab Indonesia sama dengan melindungi persatuan Indonesia
(suatu manifestasi kesatuan ketuhanan dan kemanusiaan dalam konteks nasional
Indonesia). Al-Jabiri pun berusaha untuk mempersatukan umat Islam, Yahudi dan
Kristen Arab (minimal Maroko) di bawah
bendera kalimat sawa’ dan payung budaya damai maqashid syariah. Hanafi pada
gilirannya bertekad untuk melindungi kepentingan Mesir melalui maqashid
syariah. Namun demikian Hanafi dan Cak Nur menekankan fleksibelitas
kaedah-kaedah fikih, dengan menandaskan bahwa “hukum dapat berubah jika sebab,
ruang, waktu dan pelakunya berubah”. Ini merupakan sebuah konsep yang sangat strategis
karena memungkinkan mereka untuk mempertahankan berbagai pandangan yang berbeda
tentang Marxisme.
Hanafi menyambut
Marxisme sebagai sarana untuk mempersatukan Mesir dikarenakan pengaruhnya yang
sangat kuat dalam kancah politik dan memasukannya ke dalam naungan bendera
“Suadara se-Bangsa”. Di sisi lain, Cak Nur sama sekali tidak bermaksud
menjustifikasi Marxisme dalam konteks ahli kitab. Bahkan, ia mengutuk Marxisme
sebagai ancaman bagi persatuan Indonesia (mengingat G30S/PKI yang menyebabkan
PKI dilarang) dari kacamata Indonesia, Hanafi lebih Soekarnois dalam menganggap
Marxisme sebagai faktor pemersatu, sedangkan Cak Nur cenderung Soehartois dalam
menilai Marxisme sebagai disintegerasi. Al-Jabiri, pada gilirannya akan menolak
segala macam ekstrimisme, termasuk Marxisme. Dari penafsirannya yang moderat
dan toleran atas maqashid syariah seperti Hanafi, al-Jabiri tidak pernah
diperhadapkan pada problem pluralitas keagamaan seperti Cak Nur yang harus
mengakomoadasi mereka masuk ke dalam definisi ahli kitab. Akhirnya, ketiga
pemikir ini setuju bahwa penafsiran mereka tidak mengikat siapun kecuali
dilegitimasi melalui ijmak. Namun demikian tidak seperti Cak Nur yang melandaskan
penafsiran ijmaknya pada UUD Republik Indonesia, Hanafi dan al-Jabiri terbuka
untuk menerima berbagai tingkat ijmak tergantung pada kebutuhan. Kemauan mereka untuk memasukan non-Muslim
dalam konsensus di negara masing-masing sangat sejalan dengan konsep masyarakat
madani (civil society) kontemporer
dan menghormati norma-norma Internasional. Sebuah sikap yang menghormati
standar perilaku Al-Quran dan apa yang dapat dijelaskan sebagai toleransi
intrinsik dan asli Al-Quran kepada “orang lain”.
Kesimpulan
Sudah sangat jelas apa
yang dipaparkan oleh Prof Yudian dalam papernya melalui tiga pemikir raksasa
dunia Islam, yang seharusnya bisa menghentikan segala bentuk pertikaian atas
nama agama yang belakangan marak terjadi di Indonesia. Sensivitas keyakinan
apabila mendapat penangangan yang benar dan tepat sesungguhnya bisa menjadi
sangat cair dan fleksibel. Pergulatan pemikiran seperti yang dilakukan oleh Cak
Nur, al-Jabiri dan Hanafi tidak lain adalah untuk mencari formulasi yang tepat
guna mengharmonisasi kehidupan bermasayarakat sekaligus bernegara, yang dalam
prakteknya banyak terdapat lubang-lubang kecil. Sebagai negara yang sangat
majemuk, Indonesia sangat memerlukan pemikiran keislaman yang bisa mengakomodir
“orang lain” demi persatuan bangsa. Seluruh rakyat Indonesia adalah “Saudara
se-Bangsa” yang harus hidup dan berjuang bersama demi keselamatan, kedamaian
dan keamanan negara. Inilah alasan mengapa resensi ini penting untuk ditulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar