Rabu, 16 Maret 2016

Resensi Paper “Interfaith Dialogue From The Perspektif Of Islamic (Quranic Worldview : A Reconstruction of the Reader’s Role) Perbandingan Pemikiran Hassan Hanafi, Muhammad Abid al-Jabiri dan Nurcholis Madjid oleh Prof. K.H Yudian Wahyudi, Ph.D., dalam buku Jihad Ilmiah Dua : Dari Harvard ke Yale dan Princeton”

Resensi ini akan membahas secara singkat makalah/paper yang dipresentasikan Prof. K.H Yudian Wahyudi, Ph.D di Harvard Law School tanggal 16 April 2003. Mengapa paper/makalah ini ditulis, diangkat dan diresensi oleh penulis karena belakangan ini tema tersebut menjadi relevan dengan situasi dan kondisi Bangsa ini. Dimana-mana kita dapat melihat tindakan-tindakan yang menjurus kepada intoleransi, menyebabkan kegaduhan dan pertentangan kemudian bermuara kepada tindakan kekerasan atas nama sebuah keyakinan. Pertentangan yang tidak didasarkan pada perdebatan intelektual namun hanya bersandar kepada kepentingan argumentasi diatas permukaan dan tidak mendalam. Untuk itu penting kiranya menurut penulis, perspektif yang sangat baik dan tepat dapat kita pelajari dari pandangan dari tulisan dan pemaparan Prof. K.H Yudian Wahyudi, Ph.D, Tentang perbandingan pemikiran Hassan Hanafi (Mesir), Muhammad Abid al-Jabiri (Maroko) dan Nurcholis Madjid (Indonesia).
Paper Prof Yudian memulai dengan pentingnya dialog antaragama pasca tragedi 11 september 2002. Dialog antara agama yang dimaksudkan adalah dialog yang bersifar teoritis dan mendalam yang didasarkan kepada pandangan intelektual Muslim yang otoritatif dan telah dipertanggungjawabkan. Selama ini dialog yang dilakukan hanya bersifat historis dan didominasi oleh bahasan nilai-nilai bersama saja dengan menyampingkan tulisan pemikir-pemikir Muslim yang sebenarnya sangat diperlukan untuk dapat mengetahui secara lebih mendalam dan menyeluruh pandangan Islam berkaitan dengan wacana dialog antaragama. Prof Yudian kemudian menggunakan kacamata hukum Islam dalam membahas dialog antaragama dengan menerapkan Averroeisme sebagai metode. Averroeisme bertumpu kepada prinsip-prinsip epistemologi Ibn Rusyd yang tertuang dalam “trilogi metodis”-nya yaitu Metode Kaum Teolog, Titik Temu Agama dan Filsafat serta Awal Mujtahid. Metode ini merupakan instrumen analisa utnuk memabandingkan gagasan tiga pemikir besar Islam modern yaitu Hassan Hanafi,  al-Jabiri dan Cak Nur (Nurcholis Madjid).
Dalam diskusi ini fokus pertama Prof Yudian adalah memberikan pemaparan dengan metode perbandingan  (Komparatif Manahij), kedua menggunakan pendekatan fikih Fasl-ul-maqal (Titik Temu Agama dan Filsafat) untuk mendinginkan hubungan antara filsafat dan agama. Pendekatan tersebut akan diterapkan pada topik ini dengan pertanyaan : apa hukum melakukan dialog antaragama ?  apakah wajib, mandut (sunat), mubah, makruh, atau haram?  Dimana pula posisi dialog antaragama dalam maqashid syariah (tujuan hukum Islam). Walaupun akan membandingkan pandangan Hanafi, al-Jabiri dan Cak Nur dari kacamata fikih, Prof Yudian tidak akan memberikan pendapat siapa yang benar atau salah, lebih kuat atau lemah.  

Pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur)
Pada tingkatan Hablumminannas (relasi sosial-politik) dengan mengambil contoh Indonesia yang secara konstitusional mengakui Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu sebagai agama, Cak Nur menjelaskan bahwa hak pengikut agama-agama ini untuk hidup dan beribadah diakui oleh UUD 1945. Lebih lanjut Cak Nur menjustifikasi dengan merujuk kepada kalimat sawa’ (Q. 3 :64), sebuah prinsip yang disamakan dengan “titik temu” atau “landasan bersama” oleh Cak Nur. Terjemahan Surat Ali Imran (ayat 64) tersebut adalah “Katakanlah (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (kalimat sawa’) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mepersekutukanNya dengan apapun juga, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), saksikanlah bahwa kami adalah Muslim”
Cak Nur meminta umat Islam di Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai titik temu atau landasan bersama antara mereka dan non-Muslim Indonesia, karena pancasila sangat sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Lebih lanjut Cak Nur menegaskan kembali pandangan Bung Hatta bahwa sila pertama Pancasila merupakan manifestasi konstitusional rukun Islam yang pertama, yaitu tauhid (Tiada Tuhan Selain Allah). Cak Nur memberikan alasan mengapa menjadikan Pancasila sebagai kalimat sawa’ bagi bangsa Indonesia (khususnya bagi para pengkritiknya yang menggunakan ayat “Barangsiapa tidak menghukumi berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang kafir” Q.5:44-45) bahwa Pancasila merupakan manifestasi politik ajaran Al-Quran tentang musyawarah dalam konteks Indonesia, karena berdasarkan pada konsensus (ijmak) Indonesia maka Pancasila mengikat bagi bangsa Indonesia. Khususnya bagi umat Islam Indonesia yang berkewajiban memenuhi janji (kontrak). Untuk mendekati umat Islam Tradisional di Indonesia, Cak Nur memperkuat Ijtihad ini dengan konsep kontrak sosial gagasan Imam al-Mawardi yang merupakan satu-satunya prosedur yang sah untuk memilih pimpinan Islam.
Pancasila, dalam sila pertama tidak menghadakan masalah kepada umat Islam Indonesia dalam kaitannya dengan umat Kristen dan Katolik Indonesia karena mereka adalah Ahli Kitab. Namun demikian, tidak seperti halnya Yahudi (yang hampir tidak dikenal di negara Pancasila) dan Kristen, agama-agama non-Ibrahim (Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu) menghadapkan persolan teologis kepada umat  Islam Indonesia. Problem ini tidak ada di tempat lain terutama Mesir (Hassan Hanafi) dan Maroko (Muhammad Abid al-Jabiri). Cak Nur mendorong umat Islam Indonesia untuk mengabggap ketiga komunitas ini sebagai ahli kitab karena umat Hindu, Budha dan Kong Hu Cu pada mulanya menerima kitab suci mereka dari Tuhan tetapi kemudian tersimpangkan. Dalam Al-Quran kata Cak Nur, Allah hanya menceritakan sebagian, bukan keseluruhan, kisah nabi-nabiNya (Q.40 : 78) . Akan keluar dari konteks tradisi Ibrahim kata Cak Nur andaikata Al-Quran diwahyukan dengan kisah-kisah agama non Ibrahimi seperti Hindu Budha dan Kong Hu Cu kepada audiens Muhammad yang hampir total Ibrahimi. Lebih penting lagi Al-Quran mempertegas bahwa Allah menggunakan “metode” (syir’ah dan minhaj) pada setiap umat (Q.5:48) dan setiap rasul atau nabi berbicara dengan bahasa kaumnya (Q.14:4). Jadi menurut kesimpulan Cak Nur, sangatlah mungkin bahwa agama Hindu, Budha dan Kong Hu Cu termasuk dalam kategori ini.       

Pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri
Seperti halnya Cak Nur, al-Jabiri menafsirkan kalimat sawa dalam konteksnya sendiri. Al-Quran bagi al-Jabiri, mulai dengan menganggap orang-orang Kristen bukan sebagai “orang lain” dalam pengertian Eropa dari kata itu, tetapi sebagai bagian dari banyak “orang lain” yang diakui oleh Al-Quran sebagai orang saleh yang kesemuanya seperti halnya umat Islam, sama di hadapan Allah (Q.2 : 62). Dalam rangka mencapai kohesivitas sosial yang sama, al-Jabiri menganjurkan tema “positive otherness” dengan menjelaskan bahwa kalimat sawa’, dalam konteks nasionalnya sendiri, bukan hanya diarahkan kepada orang-orang Kristen Arab tetapi juga kepada orang-orang Kristen secara umum dikarenakan sikap positif terhadap Kristen (Barat) Bizantium yang terekam dalam Al-Quran (Q. 30 : 1-6). Dalam rangkaian ayat ini, Al-Quran menjanjikan kemenangan kepada Bizantium-Romawi dalam peperangannya melawan persia pada saat kelahiran Islam, zaman ketika orang-orang Kristen Romawi, seperti halnya orang-orang Kristen Arab, hanyalah semata-mata “orang lain” dan tetangga yang damai pada tingkat keagamaan dan praktis.
Al-Jabiri juga menganggap kesepakatan atau ijmak sebagai sarana untuk menjawab berbagai kebutuhan dalam berbagai tingkatan. Mengingat teladan historis Quran di atas mengenai relasi Islam-Kristen, al-Jabir mengusulkan agar kalimat sawa’ memainkan kembali peranannya dalam menyatukan Yahudi, Kristen dan Islam pada tingkat horizontal kemanusiaan (muammalah), dengan menjadikan muqashid syariah sebagai budaya damai yang menyatukan mereka. Berbeda dengan Cak Nur yang menyimpulkan bahwa kalimat sawa’ itu harus bertolak dari pandangan bahwa semua agama tidak terkecuali Hindu, Budha dan Kong Hu Cu (dalam konteks Indonesia) adalah sama dan diakui sebagai Ahli Kitab oleh Al-Quran, al-Jabiri menegaskan Islam sebagai satu-satunya agama di mata Allah, tetapi mengakui bahwa pengetahuan merupakan hak asasi dalam pengertian bahwa Allah tidak menghukum orang-orang yang belum kedatangan risalah Allah. Masalahnya adalah bagi al-Jabiri berbeda karena dia tidak dihadapkan pada keharusan memperluas definisi ahli kitab ke dalam agama-agama non-Ibrahim seperti Hindu, Budha dan Kong Hu Cu dikarenakan agama-agama ini hampir tidak ada di Maroko. Di sisi lain al-Jabiri menghimbau kesatuan umat Yahudi, Kristen dan Islam Arab di bawah panji-panji kalimat sawa’, suatu strategi yang juga digunakan Hanafi untuk mengajak ahli kitab Mesir untuk bergabung dengan Kiri Islamnya demi memperkuat persatuan tanah air, sejarah dan nasionalisme mereka melawan dominasi asing.

Pemikiran Hassan Hanafi
Sama seperti Cak Nur dan al-Jabiri dalam merumuskan dan menerapkan kalimat sawa’, Hanafi menggunakan kalimat sawa’ untuk menghilangkan keslahpahaman antara Kiri Islamnya dengan apa yang dia sebut “Saudara Se-Tuhan” dan “Saudara Se-Bangsa”. “Saudara Se-Tuhan pada umumnya adalah anggota Al-Ikhwan al-Muslimun, sedangkan “Saudara Se-Bangsa” pada umunya adalah kaum Marxis, Nasseris dan kaum Liberal. Hanafi  menyebut kelompok pertama sebagai “Saudara Se-Tuhan” karena Al-Ikhwan dan Kiri Islam Hanafi memliki akar yang sama dalam tradisi Islam. Di samping itu kedua-duanya bermaksud menghidupkan kembali progresivitas Islam.
Dalam usahanya mempromosikan persatuan antara Kiri Islamnya dengan “Saudara Se-Bangsa”, Hanafi pertama-tama mengatakan bahwa Kiri Islam dan Marxis Mesir dipersatukan oleh tanah air mereka yaitu Mesir. Pada waktu yang sama ia mendefenisikan kaum Nasseris sebagai “Saudara dalam Revolusi”. Kiri Islam mendukung Nasserisme dan Al-Ikhwan karena, seperti halnya mereka, Kiri Islam menentang tirani dan ketidakadilan tetapi mendukung progres, kesatuan, kebebasan dan sosialisme. Bahkan menurut Hanafi kaum Liberal sebagai “Saudara dalam Kebebasan” karena Kiri Islam dan kaum Liberal memiliki tujuan yang sama dalam membela kaum yang tertindas sekaligus menyebarkan kebebasan, demokrasi dan keadilan sosial dalam Islam yaitu Renaissans Islam. Singkatnya Kiri Islam bermaksud menyempurnakan apa yang telah dimulai kaum Liberal. Sejalan dengan Cak Nur dan al-Jabiri, Hanafi juga berusaha menerapkan konsep siyasah-syari’ah untuk memecahkan problem hubungan Islam dan nasionalisme dalam negara mereka masing-masing pada tingkat horizontal kemanusiaan, persis seperti yang dilakukan nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi dan Kristen dalam kontrak sosial politik yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah.   
Dapat disimpulkan bahwa melakukan dialog antaragama berarti pula melakukan dialog peradaban. Wajib hukumnya melakukan dialog antaragama demi keselamatan, kedamaian dan keamanan umat manusia. Salah satu makna islam dan iman adalah proses menuju keselamatan, kedamaian dan keamanan. Dengan demikian posisi dialog antaragama dalam maqashid syariah berada pada tingkatat “daruri” (niscaya) yang bertujuan melindungi agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan. Tanpa dialog kehidupan akan rusak. Dalam konteks Cak Nur, karena pancasila sangat sejalan dengan maqashid syariah (tujuan hukum Islam) maka menerima agama Hindu, Budha dan Kong Hu Cu sebagai ahli kitab Indonesia sama dengan melindungi persatuan Indonesia (suatu manifestasi kesatuan ketuhanan dan kemanusiaan dalam konteks nasional Indonesia). Al-Jabiri pun berusaha untuk mempersatukan umat Islam, Yahudi dan Kristen Arab  (minimal Maroko) di bawah bendera kalimat sawa’ dan payung budaya damai maqashid syariah. Hanafi pada gilirannya bertekad untuk melindungi kepentingan Mesir melalui maqashid syariah. Namun demikian Hanafi dan Cak Nur menekankan fleksibelitas kaedah-kaedah fikih, dengan menandaskan bahwa “hukum dapat berubah jika sebab, ruang, waktu dan pelakunya berubah”. Ini merupakan sebuah konsep yang sangat strategis karena memungkinkan mereka untuk mempertahankan berbagai pandangan yang berbeda tentang Marxisme.
Hanafi menyambut Marxisme sebagai sarana untuk mempersatukan Mesir dikarenakan pengaruhnya yang sangat kuat dalam kancah politik dan memasukannya ke dalam naungan bendera “Suadara se-Bangsa”. Di sisi lain, Cak Nur sama sekali tidak bermaksud menjustifikasi Marxisme dalam konteks ahli kitab. Bahkan, ia mengutuk Marxisme sebagai ancaman bagi persatuan Indonesia (mengingat G30S/PKI yang menyebabkan PKI dilarang) dari kacamata Indonesia, Hanafi lebih Soekarnois dalam menganggap Marxisme sebagai faktor pemersatu, sedangkan Cak Nur cenderung Soehartois dalam menilai Marxisme sebagai disintegerasi. Al-Jabiri, pada gilirannya akan menolak segala macam ekstrimisme, termasuk Marxisme. Dari penafsirannya yang moderat dan toleran atas maqashid syariah seperti Hanafi, al-Jabiri tidak pernah diperhadapkan pada problem pluralitas keagamaan seperti Cak Nur yang harus mengakomoadasi mereka masuk ke dalam definisi ahli kitab. Akhirnya, ketiga pemikir ini setuju bahwa penafsiran mereka tidak mengikat siapun kecuali dilegitimasi melalui ijmak. Namun demikian tidak seperti Cak Nur yang melandaskan penafsiran ijmaknya pada UUD Republik Indonesia, Hanafi dan al-Jabiri terbuka untuk menerima berbagai tingkat ijmak tergantung pada kebutuhan.  Kemauan mereka untuk memasukan non-Muslim dalam konsensus di negara masing-masing sangat sejalan dengan konsep masyarakat madani (civil society) kontemporer dan menghormati norma-norma Internasional. Sebuah sikap yang menghormati standar perilaku Al-Quran dan apa yang dapat dijelaskan sebagai toleransi intrinsik dan asli Al-Quran kepada “orang lain”.

Kesimpulan
Sudah sangat jelas apa yang dipaparkan oleh Prof Yudian dalam papernya melalui tiga pemikir raksasa dunia Islam, yang seharusnya bisa menghentikan segala bentuk pertikaian atas nama agama yang belakangan marak terjadi di Indonesia. Sensivitas keyakinan apabila mendapat penangangan yang benar dan tepat sesungguhnya bisa menjadi sangat cair dan fleksibel. Pergulatan pemikiran seperti yang dilakukan oleh Cak Nur, al-Jabiri dan Hanafi tidak lain adalah untuk mencari formulasi yang tepat guna mengharmonisasi kehidupan bermasayarakat sekaligus bernegara, yang dalam prakteknya banyak terdapat lubang-lubang kecil. Sebagai negara yang sangat majemuk, Indonesia sangat memerlukan pemikiran keislaman yang bisa mengakomodir “orang lain” demi persatuan bangsa. Seluruh rakyat Indonesia adalah “Saudara se-Bangsa” yang harus hidup dan berjuang bersama demi keselamatan, kedamaian dan keamanan negara. Inilah alasan mengapa resensi ini penting untuk ditulis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar