Minggu, 16 Maret 2014

Rekonstruksi Sistem Organisasi Forum Bem Se-MALUT


Tulisan ini bermaksud untuk menggagas Rekonstruksi sistem organisasi sekaligus memberikan Klarifikasi secara organisatoris kepada seluruh Anggota (Lembaga) yang merasa dinaungi oleh Forum ini sesuai dengan Nilai yang seharusnya dianut bahkan wajib dianut dan dirawat. Forum ini didirikan pada tanggal 5 November 2009 dalam bentuk Presidium yang terdiri dari Pimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se Maluku Utara (Penulis tidak mempunyai informasi yang cukup untuk mengatakan hal tersebut representatif), kemudian Presidium yang telah dibentuk tersebut bertugas melaksanakan Musyawarah Forum BEM Se-Maluku Utara yang diadakan di Kabupaten Halmahera Utara. Dan terjadilah Musyawarah Pada Tanggal 10-13 April 2010 yang dihadiri oleh berbagai elemen kemahasiswaan, maka terbentuklah Forum BEM Se-MALUT Sebagai Sentral di tingkat provinsi untuk mengawal agenda pembangunan di Maluku Utara (Lih: Muqaddimah AD/ART FBEM SE-MALUT).
Setelah didirikan Forum BEM Se-MALUT ini menjalankan aktifitas sebagai sebuah Organisasi yang waktu itu menurut hemat penulis dan rekan-rekan yang lain tidak terlalu Perform dalam artian tidak adanya Gagasan Program yang terimplementasi secara signifikan terhadap mahasiswa khususnya di kota Ternate, mungkin karena masih seumur jagung forum ini agak kaget dengan dinamisasi Iklim kemahasiswaan saat itu maupun sekarang yang berjalan Fluktuatif, Pancaroba dengan Eskalasi Dromologis yang siap menghantam siapa pun yang dianggap Common Enemy. Masih dalam Kilometer yang wajar apabila Forum ini tertatih-tatih mengikuti ritme Kemahasiswaan yang dimainkan di Maluku Utara ditambah banyaknya Lembaga yang diwadahi oleh Forum ini.
Absurditas yang direncanakan
Inilah yang menjadi Fokus penulis dalam tulisan ini, sebuah Perencanaan Organisasi yang sengaja di Design dengan tidak cermat dan salah dalam menempatkan nilai kegunaan sebagai sebuah Forum yang membawahi beberapa lembaga kemahasiswaan (BEM), sekali lagi Penulis sebut Lembaga Kemahasiswaan bukan Mahasiswa. Perlu digaris bawahi dan diberi Aksentuasi bahwa Forum ini ber-anggotakan Lembaga Bukan Mahasiswa. Dari Pembacaan penulis baik terhadap Dinamika Musyawarah maupun dari Literatur Organisasi yang tentunya bersumber dari AD/ART forum ini, terjadi kekeliruan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan para pendiri maupun fungsionaris Organisasi ini untuk menjelaskan kepada seluruh Mahasiswa se-Maluku Utara dan Peserta Musyawarah yang Notabenenya adalah “orang baru” dalam Forum ini tentang Tipe dan Jenis Organisasi Forum BEM Se-MALUT. Sehingga menyebabkan kesalahan penafsiran terhadap Bentuk, Kedudukan dan Fungsi Organisasi.
Menurut penulis Absurditas ini terjadi pada awal pembentukan Forum ini, Organisasi dalam bentuk Forum ini tidak semestinya dipimpin oleh seorang Ketua Umum sebagai pucuk kepemimpinan tertinggi, yang mempunyai Kedudukan, Fungsi, dan kewenangan sama seperti Organisasi Heirarkhi pada umumnya (Cipayung : HMI, PMII, GMNI, IMM, GAMKI, PMKRI dll). Organisasi Hierarkhi menurut Berelson dan Steiner merupakan organisasi yang menunjuk pada adanya suatu pola kekuasaan dan wewenang yang berbentuk piramida, artinya ada orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan dan kekuasaan serta wewenang yang lebih tinggi daripada anggota biasa pada organisasi tersebut. Sementara Forum BEM Se-MALUT Bukan merupakan organisasi Hierarkhi karena didalamnya terhimpun seluruh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang ada di Maluku Utara dan tentu semuanya memiliki kedudukan, kekuasaan, dan wewenang yang sama sebagai Pimpinan Mahasiswa di masing-masing lingkup Universitas/Fakultasnya, maka cara berpikir yang harus digunakan yaitu tidak ada BEM yang lebih Superior (tinggi) dan Inferior (rendah) apabila seluruh BEM tersebut dihimpun dalam satu Forum.
Seharusnya Forum ini dikomandoi oleh seorang Koordinator bukan Ketua Umum sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas dan dengan sangat baik dan tepat dipraktekkan oleh forum sejenis di daerah lain Seperti Forum BEM Se-Daerah Istimewa Yogjakarta yang dipimpin seorang Koordinator Umum. Batasan makna “Forum” adalah suatu wadah yang Kepemimpinannya bersifat Colecctiv Collegial sebagai tempat berhimpun unsur pimpinan lembaga dalam hal ini BEM, untuk menyatukan gagasan, meningkatkan intensitas Komunikasi  serta Konsolidasi ide demi tercapainya Visi bersama yang sudah pasti Populis. Fungsi, dan wewenang Koordinator adalah sebagai Motor Penggerak yang senantiasa mengkoordinir semangat sekaligus Fasilitator kepentingan seluruh BEM se Malut serta sejajar lagi simetris dengan Anggota lainnya (Lembaga), dan tidak mempunyai kewenangan lebih dibanding yang lain, karena sekali lagi Forum ini sifat kepemimpinannya adalah Colecctif Colegial atau sifat kepemimpinan bersama bukan sifat kepemimpinan tertinggi seperti yang dipraktekkan sekarang. Tentu siapapun orang yang dipercayakan menjadi koordinator adalah pengurus sekaligus unsur pimpinan BEM yang telah di delegasikan untuk bergabung dalam forum ini dan masih sebagai mahasiswa aktif, karena esensi dari eksistensi Forum BEM se-MALUT  ditentukan oleh seluruh BEM yang tergabung di dalamnya bukan pada Forum ini sendiri. Forum BEM Se-MALUT bisa ber-ADA karena diciptakan oleh dan atas kesepakatan seluruh BEM tersebut maka mustahil Forum BEM Se-MALUT bereksistensi terlepas dari keinginan “penciptanya”. Kenyataan yang terjadi sejauh ini praktek organisasi yang diterapkan pada Forum BEM Se Malut tidak mencerminkan organisasi yang berbentuk Forum Ciptaan BEM, melainkan seperti sebuah organisasi Hierarkhi yang didirikan beberapa orang. Ironi ini bisa dilihat dari Struktur (Pengurus/Fungsionaris), Subtansi (AD/ART& GBHKO), dan Budaya (Ritual Musyawarah/Atribut) Organisasi (Forum) ini. Menurut penulis hal ini merupakan kesalahan dalam meletakan Nilai dari yang Seharusnya menjadi  se-ADA-nya. Masih banyak kerancuan yang harus didiskusikan dan dibedah pada ruang dan waktu yang lain.
Rekonstruksi
            Karena Forum BEM Se Malut bukan merupakan Organisasi Hierarkhi maka Konsekuensi logisnya adalah Forum ini harus berbentuk sistem Presidium yaitu suatu Kepemimpinan Bersama yang terdiri dari Seluruh Pimpinan BEM Se Maluku Utara yang dinakhkodai seorang Koordinator bukan Ketua Umum. Pun Syarat mutlak keberadaan orang-orang didalam Forum BEM Se Malut wajib dan harus ada Jabatan yang melekat padanya. Yang dimaksud jabatan yang melekat adalah Orang tersebut merupakan Pengurus Teras BEM pada salah satu Perguruan Tinggi di Maluku Utara, tidak seperti praktek yang dilakukan sebelumnya. Rekonstruksi kembali dengan merombak secara radikal seluruh tatanan organisasi menjadi penting untuk dilakukan kalau tidak ingin dibubarkan.
Mulai dari merumuskan kembali Pedoman Dasar Organisasi, Sistem Kepemimpinan Organisasi harus diganti sesuai dengan Tipe Organisasi, Perencanaan Program tidak Separatis namun harus disesuaikan dengan Master Plan dari BEM pada Perguruan Tinggi masing-masing, Pemangkasan Bidang Kerja yang tidak sesuai kebutuhan, menjadi pusat konsolidasi ide dan gagasan dalam menyikapi berbagai fenomena pembangunan yang terjadi di Maluku Utara, metode pengisian jabatan (musyawarah) harus diefesienkan, tidak seperti organisasi hierarkhi yang menguras energi dan melelahkan, implementasi Program tidak perlu melebihi Kapasitas Program yang telah direncanakan oleh BEM yang terhimpun didalamnya, gagasan yang telah dirumuskan bersama sebaiknya dioperasionalisasikan oleh BEM pada masing-masing Perguruan Tinggi. Sebab Forum BEM Se-MALUT hanya bertugas sebagai Media penampung serta penyatu ide dan gagasan selanjutnya digerakkan atau “dibumikan” oleh anggota-anggotanya bukan menjadi Buruh Program. Mengakhiri tulisan ini penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam tulisan ini terdapat kalimat yang menyinggung pribadi maupun kelompok, itu bukan maksud penulis yang sebenarnya, maksud penulis yang sebenarnya adalah melakukan Ikhtiar demi Pengetahuan dan Praktek Organisasi bagi generasi yang akan datang agar tidak menyimpang dari Koridor yang seharusnya. Semoga!      

Tulisan ini diterbitkan pada Harian Gamalama Post, Sekitar bulan Maret tahun 2013. Tulisan ini merupakan Ikhtiar penulis demi perbaikan oraganisasi kemahasiswaan kedepan. Penulis Terpilih sebagai Ketua Forum Badan Eksekutif Mahasiswa se Maluku utara pada Kongres yang diadakan di Bacan, Halmahera Selatan pada bulan desember 2012.

                  

Membongkar Benteng Fanatisme Menguji Demokrasi Mahasiswa UNKHAIR (Catatan Ringan Menjelang Pemilu Kampus Unkhair)


Akhirnya, tentang doktrin-doktrin sesat itu, saya percaya telah cukup mengetahui manfaat yang sebenarnya sehingga tidak akan terperdaya baik oleh janji-janji muluk  maupun kelicikan atau pembualan orang yang mengaku lebih tahu daripada yang sesungguhnya mereka ketahui..... 
                                         Rene Descartes in the Book Discourse and Method 1637.

Frans Magnis Suseno dalam sebuah tulisannya yang berjudul Demokrasi : Tantangan Universal, mempresentasikan suatu gagasan yang menarik yang patut kiranya untuk kita bedah  bersama.  Dalam tulisan Romo tersebut terlihat benar bahwa Demokrasi diakui umum sebagai sistem politik di mana sejumlah ciri dan kondisi harus terpenuhi. Ciri tersebut adalah (1) negara hukum, (2) pemerintah berada di bawah kontrol nyata masyarakat, (3) ada pemilihan umum berkala yang bebas ,(4) prinsip mayoritas, (5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis dasar. Kelima ciri tersebut adalah syarat dimana demokrasi ditilik dalam arti modern. Tulisan yang subtansinya adalah Menguji claim demokrasi yang meligitamasi dirinya sebagai satu-satunya sistem politik yang sah ini, apabila di-konteks-kan dengan pesta demokrasi yang sesaat lagi akan dihelat dilingkungan Kampus ini akan sangat menampakkan relevansinya.
Relevansi yang  Pertama, adalah sebagai praktek perdana (setelah sekian tahun Vakum) penerapan Demokrasi (modern) di lingkungan kampus ini, tentu kiranya membutuhkan mental dan strategi serta taktik menggunakan pendekatan baik Politik, sosial, Budaya, atau bahkan ideologi yang dapat mengkonsolidasikan kepentingan tujuh Blok besar (Struktur Mahasiswa Fakultas Hukum, Ekonomi, Sastra, Teknik, Pertanian-Perikanan dan FKIP) di bawah naungan Kebesaran Khairun (baca: Unkhair) dalam sistem politik yang tetap beralaskan pada culture-budaya dan siap di uji sambil di perbarui secara berkala (Romo Frans – red) . Yang dimaksud Konsolidasi kepentingan adalah bagaimana Struktur Kekuasaan (baca: Presidium) yang telah di berikan kewenangan untuk menyelenggarakan dan mengawal ajang bergengsi Mahasiswa Unkhair ini mampu mendobrak Fanatisme egosentris masing-masing Fakultas (mahasiswa) terhadap kepentingan kelompoknya dan mengarahkan,  memandu, serta mengharmonisasikan Kepentingan masing-masing Fakultas/kelompok tersebut dalam satu Kepentingan Besar lagi Kolektif mahasiswa Unkhair. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa kepentingan besar dan kolektif Mahasiswa Unkhair? Pertanyaan ini tentu saja akan mudah untuk dijawab apabila kita sepakat bahwa ajang Pemilu Kampus kali ini bukan semata-mata Proses perebutan Jabatan yang membabi-buta dan cenderung menghalalkan segala cara, terlebih lagi apabila Struktur Presidium yang ada sekarang ikut dalam arus Conflict of Interest  tersebut, maka hampir bisa dipastikan pertanyaaan diatas tidak akan dapat di jawab dalam waktu yang singkat dan Syarat Demokrasi Modern yang dimaksud Romo Frans diatas dengan Sendirinya Gugur.
Kedua,yang tak kalah relevannya adalah apabila Sistem Politik bernama demokrasi yang akan di dikte dalam proses pengisian jabatan ini, di adopsi secara mentah oleh Stake Holder yang terlibat di dalamnya -mulai dari perumusan regulasi sampai penyelenggaraan pemilu- dari Demokrasi yang bersifat Arogan dengan mengclaim/melegitimasi keberhasilan sistemnya pada lingkup yang lebih luas, maka penulis pikir Infrastruktur Politik dalam hal ini Partai peserta Pemilu kampus akan kesulitan mengikuti ritme demokrasi tersebut dan tidak menutup kemungkinan tersesat dalam proses ini. Sebagai bentuk penegasan penting kiranya sistem politik kita senantiasa di uji efektifitas keberlakuannya sembari memperbaiki kelemahan-kelamahannya. Terutama kelemahan regulasi (Hukum-Ad/Art) sebagai Pemandu sah Demokrasi.         
  Dalam tafsiran bebas Fanatisme diartikan suatu paham dan keyakinan yang terlalu kuat yang sedikit pun tidak memberikan peluang untuk menerima yang lain. Fanatisme merupakan variabel berbahaya dalam sebuah iklim yang demokratis. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membongkar apa yang menjadi akar Fanatisme yang belakangan semakin menguat dalam lingkungan Unkhair sebagai pelopor semangat pluralis dan diversitas. Pekerjaan ini akan mudah apabila Strukur kekuasaan yang disebut Presidium Universitas ikut membantu dengan cara menjembatani kepentingan Kolektif sekaligus menjadi -seperti yang di bahasakan Cak Nur dalam tulisannya yang bersubtitel Dari Rekonsiliasi Ke Konfrontasi- peredam benturan lempengan budaya organisasi (cultural faults organisasion) di masing-masing fakultas dan tidak memperkeruh proses ini, karena begitu banyak sumber daya baik anggaran, waktu, energi, bahkan aktivitas akademik yang dikerahkan semata-mata untuk Pesta Demokrasi Kita
.  Pada akhirnya memang telah nampak benteng-benteng Fanatisme yang dibangun di kalangan mahasiswa per- fakultas menjelang Pemilu Kampus ini. Apabila tidak dibongkar sesegera mungkin akan mengganggu sistem yang sudah terlanjur besar dan dianut di banyak tempat bernama Demokrasi. Maka penting kiranya menguji sistem berdemokrasi dan penerimaan sistem Politik tersebut bagi Kondisi dan situasi berlandasakan Kearifan Culture Politik dalam lingkungan Kemahasiswaan Unkhair. Untuk menguji itu penulis menghadapkan secara vis a vis dengan Pandapat Rene Descartes dalam karyanya berjudul Discourse on Method yang menegaskan “Jika di antara kegiatan manusia yang murni sebagai manusia ada satu yang benar-benar baik dan perlu, saya berani berpendapat bahwa itu adalah kegiatan yang saya pilih”.
Menutup Tulisan ini Penulis menaruh harapan yang besar kepada penyelenggara Pemilu mahasiswa baik PPPUM, PANWASLUM, dan terutama PRESIDIUM Universitas agar memberikan Pembelajaran Politik yang Baik dan Benar dengan tidak menunjukan sikap-sikap yang Non- elegan, karena masih dalam buku yang sama, Rene Descartes Menasehati bahwa suatu pembelajaran yang buruk akan membuat orang  (mahasiswa) bergumam dalam hati “saya merasa bahwa dengan belajar saya tidak mendapat lain, selain kesadaran yang semakin tajam bahwa saya tidak tahu apa-apa”. Sampai Jumpa pada tulisan berikutnya.

Tulisan ini merupakan Artikel penulis yang dimuat pada Tabloid Kampus INTRAS pada tanggal 17 Desember 2012. Topik ini terkait dengan Fenomena Pemilu yang sedang diadakan  di Kampus Universitas Khairun untuk memilih Top Eksekutif Mahasiswa di tingkat universitas (Ketua BEM). Penulis saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas  Khairun Ternate (DPM-FH Unkhair)  dan juga Ketua Dewan Penasehat Partai Demokrasi Mahasiswa (PDM) Unkhair yang juga turut berkompetisi dalam pemilu kampus tersebut.  

EksistensiI Hukum Pidana Dalam Pembangunan Hukum Positif di Indonesia


            Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum Positif di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan Nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya.
            Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yangberadab. Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
            Hukum Pidana Menurut  Prof. Dr. Moeljatno, SH ;  Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
·         Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
·         Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
·         Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut ”.
Sejarah Singkat Pemberlakuan Hukum Pidana Di Indonesia.

            Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa, Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602-1799. Sebelumnya orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.
            Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33,15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.Berdasarkan Pasal I dan II  Aturan Peralihan UUD 1945 (Perubahan Pertama-Keempat).Maka Segala  Peraturan Mengenai Hukum Pidana Dinyatakan Tetap Berlaku.

Peran Hukum Pidana Dalam Pembangunan Hukum Positif Di Indonesia
            Hukum Pidana Merupakan Salah Satu Dari Sekian Banyak Hukum Yang Berlaku Di Negara Ini, Karena Bagian Dari Hukum Publik,Hukum Pidana Mendapatkan Tempat yang sangat Penting. Alasannya,Hukum Pidana adalah Bidang Hukum Yang Menentukan Sanksi Baik Secara Fisik Maupun terhadap Harta Kekayaan Bagi Setiap Orang Yang Melakukan Kejahatan Dan Pelanggaran.  Pada Era Lampau dan Kekinian (Kontemporer) Peran Hukum Pidana Semakin Menunjukan Eksistensinya Di Dalam Pembangunan Hukum Positif Di Indonesia Melalui Proses Serta Prosedur Yang Formal Nan Pasti(Certainly), Ikut Meminimalisir Berbagai Penyakit Sosial Yang Terjadi Dalam Masyarakat.Melalui Hardware-nya (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Cukup Berhasil Manjaring Para Onrechtmatigedader atau Para Pelanggar Hukum,dengan Sanksi Yang Sebanding Dengan Kejahatan Dan Pelanggaran yang Dilakukan .Sanksi Yang Diberikan Sesuai Dengan Tujuan Pemidanaan Yakni pembalasan(Restribution), menjauhkan pelaku kejahatan dari kehidupan masyarakat(Restraint), memperbaiki atau merehabilitasi pelaku kejahatan(Reformation),dan pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana menjadi jera atau kapok sehingga ia tidak melakukan lagi kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya.(Detterence).
            Hukum Positif Di Indonesia Pada Saat Ini Bila Dilihat Secara, Cermat Masih Bermasalah Pada Proses Penegakannya (Ius Operatum) dan Apakah Betul Hukum Positif Tersebut Sudah Benar-Benar Sesuai Dengan Kebutuhan Masyarakat? Sejauh Ini Hukum Pidana Masih cukup Aktif Memberikan Sumbangan pada Pembangunan Hukum di Indonesia Dalam Hal Memberikan Ketentraman Pribadi Pada Setiap Individu dengan Gertakan Sanksi-Sanksinya Yang Relatif Berat.Pembangunan Hukum Positif Idealnya Selalu Bertumpuh Kepada Ketertiban,Keadilan dan Kepastian Hukum,Sesuai Dengan Tujuan Hukum Tersebut.Hukum Pidana Dengan Principle of Legality nya ,Sepanjang Ini kecuali Yang Berkaitan Dengan Extra Ordinary Crime Telah Mampu Menopang Hukum Positif di Indonesia Dalam Hal Memberikan Kepastian Hukum Kepada Pencari Keadilan dan Seluruh Masyarakat Serta Melindungi Mereka Dari Terjangan Hukum Yang Berlaku Surut.Meskipun Sebagian Orang Masih Meragukan Kapasitas Hukum pidana,Karena Produk Dari Kolonialisme,Namun Sepanjang Masih Sesuai Dengan Kebutuhan Orang Banyak dan Belum Ada Peraturan Pengganti Mengenai Ketentuan Ini, Maka Masih Pantas Hukum Pidana Menjadi Salah Satu Kaki Dari Hukum Positif Indonesia Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Lebih Baik.Pembangunan Hukum Yg Sesuai Dengan Harapan Masyarakat Maka Diperlukan Sistem Hukum Untuk Kepeluan Pembangunan Hukum Secara Komprehensif, Yakni Menurut Lawrance M Friedman terdapat Tiga Hal Pokok Dalam Sistem Hukum : Struktur Hukum(Aparat Penegak Hukum),Subtansi hukum (Peraturan Perundangan),dan Kultur/budaya Hukum(Kebiasaan Masyarakat ) Apabila Ketiga Unsur Ini Diperbaiki Dengan Sebaik-baiknya Maka Pembangunan Hukum Niscaya Maksimal.

“NEC SCIRE FAST EST OMNIA”
TAK SEPANTASNYA UNTUK MENGETAHUI SEGALANYA

Tulisan ini merupakan paper mini penulis pada saat menyampaikan materi  sebagai Narasumber/Panelis pada Dialog Publik bertema " Kompetisi Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia demi mewujudkan tatanan hukum yang berkeadilan" yang diselenggarkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN Ternate). Dalam Kesempatan ini penulis mewakili BEM-Fakultas Hukum Universitas Khairun Kapasitas penulis sebagai Wakil Sekretaris Bidang Penelitian dan Pengembangan (WasekLitbang) BEM-FH Unkhair. 




,

Dinamika Perbankan, Tinjauan Hukum Dan Ekonomi


Pengantar Kajian
ABSTRAKSI
            Salah satu Pilar Pembangunan Ekonomi Indonesia Terletak Pada industri Perbankan,di dalam sistem Hukum Indonesia, segala bentuk praktek Perbankan haruslah berdasar pada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam ideologi Bangsa Indonesia, yakni Pancasila dan tujuan negara indonesia di dalam UUD 1945. Pengakuan Yuridis Formal mengenai Eksistensi Perbankan dimulai sejak dilahirkannya UU No 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian diganti dengan UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Selanjutnya dengan UU 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.Sebagai badan usaha,Kehadiran Bank di Masyarakat memiliki peran yang sangat strategis baik dalam sektor Hukum maupun Ekonomi , dalam proses pembangunan Nasional. Arti dan peran Perbankan terlihat dari pengertian bank itu sendiri yakni badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan teraf hidup rakyat banyak.

A.   Sejarah Singkat Perbankan Di Indonesia (Pra Kemerdekaan)
            Awal sejarah Perbankan di Tanah Air tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan digantikannya Kekuasaan VOC Oleh Pemerintah Belanda (di bawah republik bataaf) pada 1 januari 1800. Sebagaimana di ketahui dari sejarah, pembubaran VOC bukan semata-mata didasarkan atas kepentingan Ekonomis,karena bangkrutnya VOC di bidang Keuangan, akan tetapi yang lebih prinsipil adalah alasan Politis,guna menghindarkan pencaplokan Indonesia oleh Inggris.dan VOC bukannya tidak berjasa  pada pemerintah belanda.sekalipun sesungguhnya VOC Merupakan Kongsi Dagang yang bersifat swasta,tetapi dalam kegiatan dan perkembangannya banyak bersifat Politis dan seolah-olah merupakan lembaga resmi. Setelah resmi menjadi sebuah pemerintahan yang berdaulat setelah Raffles,Pemerintahan Hindia Belanda Ingin Memperbaiki Sistem Perekonomian Yang Buruk Akibat warisan dari VOC dan Raffles.
             Pemerintahan Hindia Belanda Merasa Perlu Untuk Mendirikan Sebuah Lembaga Pembiayaan (BANK), pada Oktober 1827 berdirilah De Javasche Bank (embrio Bank Indonesia)[3],dengan Modal f.4.000.000.00 dan berkedudukan di Jakarta, pada masa itu juga setelah JB didirikan Banyak Bermunculan Bank-Bank swasta yang Berpusat di Belanda Namun Beroperasi Di Indonesia (Kantor Cabang) . JB Merupakan Bank Swasta akan tetapi direksinya diangkat oleh pemerintah,dan Pemerintah Hindia Belanda Menetapkan JB sebagai Bank Semi Pemerintah. Kemudian Setelah Pemerintah Hindia Belanda Meninggalkan Indonesia,dan Di ganti Pada Masa/Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945) tidak banyak dapat diketahui tentang kegiatan Perbankan.Memang Pemerintah Jepang Tidak Membawa Pengaruh Positif Terhadap Iklim Perekonomian Khususnya Di Bidang Perbankan.Jepang Hanya Melanjutkan usaha Sebuah Bank Milik Hindia Belanda Yakni Volkscreditbank yang kemudian diubah dengan Nama Syomin Ginko, Berdasarkan Osamu Seirei (dasar hukum jepang) No 8 tanggal 3 oktober[4]. Demikianlah Sebuah Pendeskripsian singkat Mengenai Sejarah Perbankan di Indonesia Pra Kemerdekaan.

B. PERBANKAN DALAM TINJAUAN HUKUM dan EKONOMI
       #  Pengertian Perbankan (Bank)
ü  Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, Mencakup kelembagaan ,kegiatan Usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan Usahanya.( Pasal 1 angka 1 UU No 7 /1992 jo UU No 10/1998 Tentang Perbankan)
ü  A Banker or Bank as a Person or company carrying on the business of receiving moneys, and coleccting drafts, for customer subject to the obligation of honoring cheqhues drawn upon them from time to time by the customers to extend of the ammounts available on their currennt accounts[5].
ü  Bank Merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan Jasa-Jasa[6].
ü  Bank adalah badan Usaha yang Menghimpun  dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf Hidup Rakyat Banyak.( Pasal 1 Butir 2 uu No. 7/1992 jo UU No 10/1998 Tentang Perbankan)
            Dari Berbagai Pengertian Perbankan Maupun Bank dari Para Pakar Maupun Regulasi Di Bidang Perbankan Dapat Diamati Bahwa Perbankan Mempunyai Fungsi Menghimpun (Menerima) Dana Dari Masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarkat yang lainnya dalam bentuk Kerdit atau Semacamnya Untuk Kepentingan Rakyat Secara Keseluruhan. Pada Tahapan yang Modern Bank dapat Menciptakan Uang (Fungsi Transmisi)[7].
            Ditinjau Dari Segi Hukum, Kegiatan Bank Sering Disebut Hukum Perbankan (Banking Law) yang Berarti sekumpulan Peraturan Hukum yang mengatur kegiatan Lembaga Keuangan Bank yang meliputi segala aspek, Dilihat Dari Segi Esensi dan Eksistensinya serta Hubungannya Dengan Bidang Kehidupan Lain[8].
            Sedangkan Jika Ditinjau Dari Segi Ekonomi,Perbankan Mempunyai Dua Sisi Yaitu di satu Pihak Bank sebagai Lembaga Pencipta Uang,(Economics of Money) dan di Lain Pihak Bank Sebagai Suatu Rumah Tangga Perusahaan (Economics of Finnance). Oleh Karena Itu Pembahasan Mengenai Ekonomi Perbankan Terkait Dengan Ekonomi Moneter dan Sebagian Lagi Menyentuh Ekonomi Keuangan[9].
            Pembangunan Dibidang Ekonomi Sangat Banyak Dilakukan,Namun Sering Tidak Diiringi Dengan Pembangunan Di Bidang Hukum.Liberalisasi Perdagangan Semakin Mengembangkan Globalisasi Ekonomi. Implikasi Globalisasi Ekonomi Terhadap Hukum Suatu Negara Tidak Dapat Dihindarkan. Globalisasi Ekonomi Telah Menimbulkan Akibat yang besar di Bidang Hukum Suatu Negara. Negara yang Terlibat terpaksa Membuat standarisasi Hukum dalam kegiatan Ekonominya. Maka sudah selayaknya Dilakukan Pembenahan Untuk Menghadapi Pembangunan Ekonomi yakni Globalisasi Hukum Mengikuti Globalisasi Ekonomi[10].
Epilog

            Perbankan sebagai salah satu instrument Ekonomi Sampai Detik Ini Masih Menunjukan Kualitasnya Sebagai Lembaga Pembiayaan yang Paling Sering,Digunakan Masyarakat Banyak (Trust for Bank) dalam hal Melakukan Transakasi, Menabung, Berdagang, Kredit, dst. Seperti Yang Pernah dikatakan Oleh Menteri Keuangan Pertama Amerika Serikat,Alexander Hamilton (Periode 1789-1795) Bahwa “Banyak Negara (yang mengutamakan Perdagangan) Menganggap Perlu Untuk Mendirikan Bank,dan Bank ini Ternyata telah membuktikan sebagai Mesin yang Paling Menyenangkan yang pernah dibuat untuk memajukan Perdagangan”[11]. Dari Aspek Hukum Perbankan (Banking Law),Telah Dibuat Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Perbankan Untuk Mengatur Sistem Perbankan,Organisasi Perbankan,Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah Dan Seterusnya. Aturan Main (Rule Of Game) yang Kemudian  Telah Dicanangkan Tentunya Selalu Mengacu Kepada Falsafah sekaligus Ideologi Bangsa Indonesia yakni Pancasila, serta UUD 1945 Sebagai Grundnorm. Dalam Kajian Ekonomi, Bank Juga sangat Aktif  Untuk Memberikan Sumbangsih Terhadap Kemajuan Perekonomian Nasional dan Internasional Baik dari Sektor Moneter Maupun Ekonomi Keuangan.
             Bank Sebagai Lembaga Pembiayaan yang Menghimpun Dana Dari Masyarakat Berupa Simpanan Dan Menyalurkannya Kepada Masyarakat Berupa Kredit[12], Sejauh ini telah banyak Membantu Masyarakat (Lintas Profesi) dalam Kegiatan Sehari-harinya.Dalam Kajian Ini Penulis  Menjelaskan Perbankan Dari Segi Hukum dan Ekonomi  Secara Umum dengan Metode Positif Deskriptif. Penulis Tidak Menjelaskan Dan Menganalisis Perbankan Dengan Instrumen Formula Matematis Yang Semakin Canggih dan Kompleks,Karena itu merupakan Bidang Kajian Dari Matematika Keuangan (Mathematics Of Finance) Bahkan Jika Kita Berbicara Perbankan Secara Komprehensif, Maka tidak Cukup dengan hanya Perhitungan Matematis, Melainkan Harus Ditambahkan dengan Administrasi Perbankan yang tertib dan sistematis dalam wujud administrasi Keuangan (Financial Administration) dan/atau Akuntasi Keuangan (financial accounting).
            Dinamika Perbankan Sungguh sangat Menarik apabila dijadikan sebagai Fokus Kajian Kita,Karena pada Konteks Kekinian dan Era Kontemporer Perbankan Semakin Menampakan Dedikasinya Untuk Pembangunan Nasional,serta Menjaga Eksistensi Indonesia dalam Pergaulan Internasional.Untuk itu Sebelum Mengakhiri Tulisan Ini Penulis Ingin Menyampaikan bahwa dalam Wilayah dan Tahapan Kebijakan Perbankan,sebaiknya Jangan Dilakukan Kriminalisasi Terhadap Para Decision Maker (Pembuat Kebijakan/Keputusan). Karena Tidak Menutup Kemungkinan Ini Akan Menjadi Suatu Preseden yang Menakutkan, dan secara langsung akan mengganggu  Kondisi Serta Iklim  Perekonomian  Negara Kita Di Kemudian Hari.

Nec Scire Fas Est Omnia
(Tidak Sepantasnya Untuk Mengetahui Segalanya)

YAKUSA,Ternate 15 Juni 2011



[1] Materi Dibawakan Pada Kajian Rutin  KOPI, 15 Juni 2011
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair (Sekjend KOPI)
[3] Lih : Ketut Rindjin “Pengantar Perbankan” GM Pustaka hal,29
[4] ibid : hal, 32
[5] Hart In J, Milnes Holden 1970,2
[6] O,P Simorangkir ; 1979,18
[7] Ketut Rindjin, Op.Cit,hal, 13
[8] Muhammad Djumhana,”Hukum Perbankan Di Indonesia” PT Citra AB hal : 1
[9] Ketut Rindjin, Op.Cit hal,4
[10] Hukum-Ekonomi-Kompas 2007
[11] Prof,Ch.Himawan (Hukum Sebagai Panglima),2003,hal 95
[12] Dr.Sentosa Sembiring,”Hukum Perbankan”  MM,cetakan II,2008,hal : 1

Tulisan ini merupakan Pengantar Kajian yang dibawakan oleh Penulis pada Kajian Rutin Komunitas Orang Pemikir (KOPI). Lt 2 Gedung Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate Maluku Utara.

Agresi Sok Suci : “Menyambut Perang Salib Terbaru Abad Ini”


            Maling teriak maling, itulah pepatah yang pantas dilontarkan ketika saya Melihat Agresi Militer yang dilancarkan Amerika beserta sekutunya ke Negara berdaulat Libya, 20 Maret 2011 kemarin, memanfaatkan isu demokrasi dan kebebasan, mereka dengan ambisi hegemoniknya menjadikan Libya bulan-bulanan serangan militer dengan dalih untuk menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia (egoisme adidaya klasik). Berawal dari pemberlakuan Not Fliying Zone (zona larangan terbang) oleh PBB (ounderbounya Amerika) dan berujung pada penembakan 110 rudal jelajah Tomahawk ke Wilayah Libya. Namun sebagaimana diduga oleh banyak kalangan, intervensi militer Barat di Libya kali ini menyimpan misi rahasia yang sedikit banyak telah terkuak. Time, sebuah koran terbitan AS membeberkan motif tersembunyi di balik serangan militer tersebut. Penelusuran Time menunjukkan bahwa intervensi militer Barat ke Libya lebih banyak memuat motif ekonomi ketimbang sekedar untuk menggulingkan Khaddafi. Dengan cara itu, Barat hendak memamerkan kembali kekuasaannya di tingkat global sambil menampakkan diri sebagai sosok pembela Perdamaian dan Demokrasi. Apalagi sekitar 2 persen cadangan Energi Dunia tersimpan di Libya, Padahal dalam kenyataannya, intervensi seperti itu tidak pernah dilakukan Amerika Serikat di negara-negara yang tidak prospektif, Apakah dalam krisis di Liberia, Pantai Gading, Rwanda, maupun Kongo. hal ini diperparah dengan pernyataan, Michael Mullen, Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS sehari pasca dimulainya agresi militer di Libya, menyatakan bahwa tujuan serangan ini bukan untuk menggulingkan Khadafi. Melihat fenomena,fakta dan kenyataan ini, ironi memang apabila kita sebagai manusia berakal dan berhati Menerimanya, Mengutip pendapat Vladimir Putin “tidak ada nalar atau nurani pada tindakan tentara (Amerika & sekutunya) tersebut".
            Ketika Seorang Anak  kecil Menonton Berita di Televisi, iya bertanya kepada ayahnya “yah, kenapa amerika dan sekutunya menyerang libya ?” ayahnya pun menjawab “karena libya dipimpin orang jahat yang menyengsarakan rakyat” dan si anak pun membalasnya “oh, berarti dengan Rudal dan Bom amerika, rakyat Libya akan sejahtera dan bahagia kan,yah?” Ayahnya pun hanya mampu terdiam tanpa kata.Ilustrasi yang sengaja saya tambahkan diatas untuk menunjukan bahwa,Serangan yang kemudian dilakukan oleh Amerika dan eropa ke kawasan Libya tidak sama sekali bertujuan untuk Melindungi Rakyat sipil dari kediktatoran Moammar Khadafi.hingga hari ini(dan mungkin masih bisa bertambah) tercatat 100 orang lebih rakyat sipil tewas akibat Agresi Sok Suci ini dan saya yakin sampai Mati pun pelanggaran HAM (genoside) ini tidak akan Diadili di depan Meja Sidang Mahkamah Internasional, hal ini dikarenakan Hukum Internasional seringkali Menjelma menjadi Norma-Norma Hampa tak bermakna bila diperhadapkan dengan Negara Adikuasa ini. kenapa dikatakan sok suci? Karena Mereka menutup mata dan Membiarkan Israel Melakukan Kejahatan kemanusiaan terhadap Palestina,itulah point yang perlu dicermati. Mungkin Sebentar lagi publik Dunia akan menyaksikan sebuah perang yang pernah terjadi di abad pertengahan lalu ,yakni “Perang Salib”,sesuai yang diungkapkan Presiden Libya Moammar Khadafi “agresi yang dilakukan Oleh mereka Adalah Agresi barbar, Tentara Salib.”
            Dukungan Kepada Libya Merupakan Harga mati Bagi Kita Bangsa Indonesia, Sebagai Bangsa Sependeritaan yang Pernah Merasakan Sakit Pahitnya Di Agresi Oleh Sekutu, Apalagi di dalam Pembukaan UUD 45 Alinea ke Empat  Telah jelas Mengamanatkan Agar Kita Sebagai Bangsa yang Besar Harus Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia yang Berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi Dan Keadilan Sosial,  tentunya Bukan Hal Yang Sulit bagi Pemerintah kita untuk, menentukan pilihan dan memberikan bantuan baik Moril Maupun Materil Kepada saudara-saudara kita di timur tengah yang sedang mengalami krisis, Juga perlu kiranya Mengutuk Segala Bentuk kekerasan Berkedok Operasi Militer Yang Mengorbankan Warga Sipil, terutama di Libya, terlepas Dari Kepemimpinan Otoriter yang dipraktekan Oleh Pemimpinannya.
            Tulisan ini tidak bermaksud Untuk Mengakomodir Kepentingan Agama Tertentu,Golongan Tertentu maupun Kelompok tertentu, tetapi untuk  Mengkritisi Hegemoni  Berlebihan dari negara-negara Barat,yang berakibat pada Kekacauan Politik,Ekonomi,Hukum,Budaya,dan Sosial Suatu Negara yang menjadi sasaran Agresi serta berdampak pada Kesejahteraan Rakyatnya (Gangguan terhadap nilai-nilai Humanisme).

Tulisan ini merupakan gagasan penulis ketika mengamati Agresi Militer Amerika ke Libya untuk meruntuhkan rezim Moamar Khadafi sekitar tahun 2011.  Konon Menurut salah seorang Teman seperjuangan Penulis di Kampus pada saat itu mengatakan bahwa tulisan ini menjuarai Lomba Penulisan Opini di Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate. Yang Kebetulan juga sempat penulis kirimkan karena diminta oleh panitia pelaksana.
Wallahualam Bisawab....

        


Kado Mahkamah Konstitusi Untuk Anak Luar Kawin (Refleksi Hari anak Nasional)




“Demikian, pengucapan Putusan Undang-Undang Perkawinan Perkara Nomor 46, karena ini sangat penting dan revolusioner sebenarnya saya ingin menekankan bahwa sejak hari ini, sejak ketok palu tadi maka anak yang lahir di luar perkawinan resmi. Baik itu kawin siri maupun selingkuhan maupun yang Sejenisnya maka anak yang lahir dari hubungan itu mempunyai hubungan darah dan mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya.”
Moh Mahfud MD , Ketua Mahkamah Konstitusi RI
           
            Begitulah Statement Ketua Mahkamah  Konstitusi, Prof Moh Mahfud MD Seusai Memimpin Sidang Putusan Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang  Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan [Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)] Terhadap UUD RI Tahun 45, Sejak Hari itu Jumat 17 Februari 2012 Secara Otomatis Seluruh Anak-Anak Indonesia yang Terlanjur Lahir Dari Hubungan yang Tidak Resmi, Berhak Mendapatkan Perlindungan Hukum dan Kedudukan Hukum yang Sejajar Dengan Anak-Anak yang Lahir Dari Ikatan Perkawinan Resmi. Sebuah Terobosan Luar Biasa yang Dilakukan Lembaga Pengawal Konstitusi Ini, Walaupun Terdapat Satu Alasan yang Berbeda (Concurring Opinion) Diantara Hakim Konstitusi Dalam Memutus Perkara Ini, Namun Menurut Penulis Secara Pribadi Patut Lembaga Ini Diberi Apresiasi Atas Keberaniannya Mengeliminasi Norma Hukum yang Sudah Mapan, Karena Dianggap Tidak Memberikan Proteksi Hukum Terhadap Anak-Anak Tak Berdosa yang Lahir Dari Kesalahan Orang Tuanya, Meskipun Harus Diakui Bahwa Putusan MK ini Tidak Terlepas Dari Pro dan Kontra Dengan Masing-Masing Argumentasinya.

            Berawal Dari Permohonan Uji Materi UU Perkawinan Terhadap UUD, Oleh Mantan Pedangdut, Machicha Mochtar (Aisya Mochtar) Dengan alasan akibat Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan itu, anak laki-lakinya yang berusia 14 tahun tidak bisa mencantumkan nama ayah biologisnya dalam akta kelahiran. Ayah dimaksud adalah almarhum Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan Sebelum Adanya Putusan MK Ini Berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Namun Setelah Dikeluarkannya Putusan MK Ini, Karena Dianggap Bertentangan Dengan UUD 45, Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan Harus Dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya  yang  dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga  ayahnya”.
Dengan Demikian  Anak-Anak yang Lahir Di Luar Ikatan Perkawinan yang Sah Baik Nikah Sirri (tidak Tercatat) ,Kawin Kontark,  Zina, Korban Pemerkosaan, Praktek Prostitusi, Kumpul Kebo (Samen Laven) Dll, Setelah Perubahan Pasal 43 (1) UU Perkawinan, Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi ini, Langsung  Mempunyai Hubungan Hukum  (Keperdataan) Dengan “Lelaki”  yang Menghamili Ibu Dari Anak Luar Kawin Sehingga Lahirlah Anak Tersebut,  Karena Menurut Pertimbangan MK Anak yang Lahir Di Luar Perkawinan yang sah, harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang  ada  padanya. Pakar Hukum Islam Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Abdul Gofur dalam Kaitannya Dengan Hal ini Berpendapat, “ Anak-anak Luar Kawin itu dilahirkan tanpa dosa  Maka Dari  itu harus Mendapatkan Hak Lebih Dari Pengaturan Hak Anak Luar Kawin Sebelumnya”. Kini Anak Luar Kawin  Mempunyai Kedudukan Hukum yang Setara Dengan Anak-Anak yang Lain Dari Segi Pewarisan Yakni Menjadi Ahli Waris Dari Ayah Biologisnya (tanpa Proses Pengakuan Dari Sang Ayah yang Tercantum dalam  Pasal 272 BW), Berhak Mendapatkan Akte Dengan Pencantuman Nama Ayahnya Dan Semakin Memperkecil Potensi Penelantaran Terhadap Anak Luar Kawin.

Sebagian Besar Kalangan Memuji serta Mendukung --Meminjam Istilah Saharuddin Daming Salah Satu  Anggota Komnas HAM—Terobosan Spektakuler  MK  ini, Namun ada Pula Yang  Melayangkan  Kritik dan Protes Terhadap Putusan Ini, Argumentasi yang Dibangun  Pihak yang Kontra Terhadap Putusan Ini Adalah Sebagaimana yang  Dikatakan ”  Syamsuar Basyariah, Ketua ICMI Aceh Barat, “Jika anak luar nikah diakui bisa membawa implikasi bahwa perkawinan orang tuanya dianggap sah ,Maka Alangkah Baiknya Putusan Itu Dikaji Ulang”  Tidak Berhenti Disitu Majelis Ulama Indonesia Melalui Fatwa No 11 Tahun 2012 Sebulan Setelah MK  Mengeluarkan Putusannya, Mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan  kelahirannya. Tetapi MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran. Kritikan Bertubi- Tubi  Dari Kalangan Ulama Datang Karena Muncul Penafsiran yang Keliru Dalam Masyarakat yang Mengatakan  Bahwa Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 ini  Untuk Melegalkan/Menghalalkan Perzinahan, Namun Hal itu Telah Dibantah Oleh Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menegaskan putusan MK semata berupaya melindungi anak luar kawin yang tidak berdosa, bukan membenarkan  tindakan perzinahan  Sebab memberikan perlindungan terhadap anak dan persoalan perzinahan merupakan dua rezim Hukum yang berbeda.
Terlepas Dari Kritikan yang Di Lontarkan Kepada Mahkamah Konstitusi Kaitannya Dengan Putusan No 46/PUU-VIII/2010 Tersebut, Menurut Hemat Penulis MK Mempunyai Niat Baik Untuk Melindungi Seluruh Anak Luar Kawin yang Merupakan Korban Dari Kekhilafan Kedua Orang Tuanya Serta Cenderung Ditelantarkan. Apabila Kita Dengan Cerrnat Membaca Seluruh Salinan Putusan MK Tersebut Dari Awal Hingga Akhir Maka Kita Akan Melihat Bagaimana Sebuah Metamorfosa  Niat Baik yang Tak Terlihat Secara Inderawi  Berubah Menjadi Sebuah Aturan Formal Tertulis yang  Mengamputasi Diskriminasi Sosial Terhadap Anak-Anak Tak Berdosa yang  “Kebetulan” Lahir Di Luar Perkawinan yang Sah. Sungguh Merupakan Kado Terindah Bagi Seluruh Anak Luar Kawin Di Nusantara Ini. Penulis Yakin Benar Jika Putusan Mahkamah Konstitusi Ini Diberlakukan Dengan Baik dan Maksimal Maka Senyum Seluruh Anak Luar Kawin Di Indonesia  Akan Selebar Anak-Anak yang Lain.
Selamat Hari Anak Nasional.

Tulisan ini diambil dari buku Kumpulan Tulisan berjudul "Potret Hukum dan Demokrasi"  yang disunting oleh Indra Talip Moti dan Syafrin S. Aman. Diterbitkan Oleh KOPI.PRESS, Tulisan ini juga Sempat dimuat pada beberapa Media Lokal.


Sabtu, 15 Maret 2014

Premanisme; Kutukan Orde Baru (Catatan Ringan Tentang Gejala Premanisme Kontemporer)


Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu. ” (Soeharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Dalam Ramadhan K.H.)

Argumentasi  Soeharto Diatas  Menunjukan Bahwa Kejahatan Harus Ditumpas Tanpa Belas Kasih, Memang Demikian Realitasnya. Melalui Operasi yang Dinamakan "Operasi Clurit" Berhasil Memangkas para Pengganggu Kenyamanan Bermasyarakat -Kajian Kriminologi KritisInteraksionis-  Sampai Pada Tingkat yang Memuaskan, Setidaknya pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang (Preman) di antaranya tewas akibat luka tembakan-  Kondisi ini berlanjut sampai tahun 1985.(Kompas 2 Dec 2011) . Menurut Penulis Operasi Ini Merupakan Kebijakan Paling Brilian yang Dirintis Rezim Orde Baru Dari Serangkaian kebijakan yang di Anggap tidak Berpihak kapada rakyat Tertindas. Penembak Misterius (PETRUS) Begitulah Para Pemberantas Patologi Sosial Ini Sering Disebut, Dengan Memanfaatkan Legalitas Operasi Celurit, Petrus Menjadi Agenda Sisipan paling Mujarab di tengah Keruwetan Sosial Masyarakat Ibukota yang Terlanjur Terkontaminasi Debu Kriminalitas. Faedah yang Kemudian Di Rasakan Masyrakat Pada Era ini Sungguh Memuaskan. Anda Tidak Perlu takut Untuk Pulang Larut Malam Ketika Melewati Tanah Abang, Begitu Pun Ketika Anda Mengantri Di ATM Kampung Melayu, Jakarta .Tentunya Tidak Perlu Teralalu Was-Was Terhadap Kondisi Sekitar. Berbanding Terbalik Ketika 2 Hal yang saya Contohkan di atas Terjadi Di Era Ini ( 90-Milenium) ,Bisa dipastikan Takkan Selamat dari Incaran Preman-Preman Kehausan.
Aman, Damai, Tentram itulah Kesan yang bisa ditangkap ketika "Kebijakan" Petrus ini Di Laksanakan, Bahkan Ketua MPR/DPR Amir Machmud Era 80-an Mendukung “Diskresi” Ini Dengan Bergumam "Setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan".(Sinar Harapan, 21 Juli 1983) . Bukan Tanpa Kritik Mantan Wakil Presiden RI Adam Malik Mengecam Keras Tindakan ini Dengan Menyatakan "Ja­ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma­ti", Hujatan yang tak jauh berbeda Juga Datang Dari Para Penggiat HAM Diantarnya Adnan Buyung Nasution Berucap "Jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah. Kesan yang dapat ditangkap dari para pengkritik kebijakan ini adalah Mereka menginginkan harus adanya proses hukum (Peradilan) dari Negara, dan tidak seharusnya Main Tembak Ditempat karena Dirasa Bertentangan Dengan Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia. Sekali Lagi Bertentangan Dengan HAM.  Pertanyaan yang Kemudian Timbul Di Permukaan Adalah Apakah Korban Dari Tindakan Premanisme Akhir-Akhir Ini Bukan Tumbal Dari  Pelanggran HAM,? Dimulai dari tertangkapnya John Kei, tersangka kasus dugaan pembunuhan bos PT Sanex Steel, lalu dilanjutkan dengan penyerangan ,Mem-babi-buta di RSPAD Gatot Subroto, Dsb. apabila Kita Mengkaji Hal Ini Secara Parsial tentunya tidak Fair. Maka  Asumsi Sementara yang akan Lahir dari Proses ini Adalah Segerombolan Pemuda yang Berwatak Premanis Berperawakan tidak Humanis, Mengobrak -Abrik Tatanan Kedamaian Masyarakat, Membajak Ketentraman Rakyat, Dan Memecah Persatuan Bangsa, Dilindungi Oleh HAM.
 Yang Dimaksud Dilindungi Oleh Ham Adalah Tindakan Kriminal Mereka yang Berulang-Ulang Di Anggap  Sebagai Tindak Pidana Biasa Kemudian Di Blending dengan Criminal Justice System (Paradilan) Di Negeri Ini yang Krisis Kejujuran Serta Moral, Paling Tinggi Implikasi Hukum yang akan Di Dapatkan Para Preman ini Tidak Jauh Berbeda Dengan Hukuman Seorang Pencuri ayam. Padahal Kejahatan yang Dilakukan Menurut Penulis  Sudah Tergolong Extra Ordinary Crime Karena Telah Mengganggu Ketentraman  Hidup Orang Banyak (Menjurus Ke Terorisme). Setidaknya dalam LEVIATAN Karya Thomas Hobbes negara diberikan kekuasaan untuk meneror warganya sendiri demi menjamin keberlangsungan hidup mereka (warga negara lainnya). Hal Serupa Juga Bisa Dilihat Dalam Pemikiran Pemikir Rusia Nikolai Gavrilovich Chernyshevsky (1849) yang Merupakan Pelopor Reformasi Rusia Menurut Chernyshevsky “orang (Negara) harus Bertindak Demi dan Untuk Kepentingan yang lebih besar yaitu Masyarakat” Dalam Konteks Ini Represif Merupakan Kata Paling  Tepat, Untuk Mewujudkan Utilitarianisme Ala Chernyshevsky dan Melindungi Kepentingan Orang Banyak.  Pengadilan Sudah Tidak Menjadi Ukuran Tegaknya Hukum, Fakta yang terjadi Di Lapangan Memang Demikian, maka perlu penanganan khusus. Penting kiranya merumuskan  strategi Penanganan Extra dalam Pemberantasan Premanisme di Indonesia, Apalagi Semakin Modernnya Modus Operandi  Tindak Pidana Tersebut diantaranya Bermodus Industrialisasi Kapitalis (Penagihan Hutang-DebtCollector, Pengelola Club Hiburan Dsb). Kriminolog UI Irvan Olii mengungkapkan Pendapat mengejutkan. Menurutnya, premanisme di Indonesia sudah menjadi budaya dan tidak akan dapat diberantas. Terpikir Untuk Menimbang Kembali Eksistensi PETRUS di Era Reformasi. Ah... Mungkin Inilah Kutukan Orde Baru.

Tulisan ini diterbitkan oleh Harian Radar Halmahera (Jawa Post Group) sekitar bulan April tahun 2012. Dan Juga salah satu Tema di dalam Buku Kumpulan  Tulisan "Potret Hukum dan Demokrasi"


Urgensi Moratorium PNS (Menakar Keseriusan Pemerintah dalam Mereformasi Birokrasi)


            Bukan merupakan fenomena yang aneh, ketika sebagai warga Negara kita seringkali harus berurusan dan diperhadapkan  dengan dilema  birokrasi. tidak jarang  Harapan dan keinginan kita untuk secepatnya menuntaskan Kewajiban Kewarganegaraan  sering kali tidak sesuai dengan Kenyataan yang diharapkan alias Mendapat “Masalah”,  bahkan tak jarang Telinga kita pun berdarah-darah tatkala mendengar statment pedas nan Menyakitkan hingga menembus relung hati yang paling dalam, saat vis to vis dengan Aparatur birokrat, yang Sejogjanya Harus Menjadi Babu (pelayan) bagi kita rakyat Biasa dan tidak mengeluh, menggerutu, maupun Membangkang terhadap permintaan kita sebagai Masyarakat, yah namanya juga babu!!!.  Kalau sudah begitu jadinya, Maka hilanglah gairah kita untuk sekedar membaca Pengertian Pelayanan dalam KEPMENPAN No 81 Tahun  1993 yang isinya : “Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan semakin membuat kita tidak bersemangat untuk melihat Pengertian Pelayanan Publik dalam KEPMENPAN NO. 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang secara gramatikal berbunyi : “Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hal Diatas juga Ternyata Turut Menghina Pendapat dari David Osborne Dan Ted Gaebler yang menyarankan bahwa birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi masyarakat. Jika sudah begini maka anda yang tiap saat bergelut dengan dunia birokrasi  siap-siaplah untuk menangis Karena hampir bisa dipastikan harapan anda tidak akan digubris.
Pentingkah Reformasi Birokrasi?
            Tentu jawaban akan “tidak” bagi para pembela dan fanatik serta Pro Status Quo. Lho Kok Mereka nda Mau? Ya Tentunya Secara Akal Sehat (Common Sense­) Apabila terjadi Perubahan dalam Tubuh Birokrasi Maka Mereka-Mereka inilah yang akan Tergilas Oleh Derasnya Arus Reformasi. Sudah Bisa Dipastikan Bahwa Pemuka-Pemuka Status Quo ini Belum Begitu Paham dan “tidak mau” Mengerti Mengenai Esensi Dari Reformasi Birokrasi itu sendiri. Apalagi Ditambah Dengan Suatu Gejala yang sangat “Mengasyikan” Bagi Para  Anti-Reformasi Birokrasi, yakni Pemeliharaan Praktek Pungli yang Memperindah Ketebalan Kantong , sungguh Ironi Bahkan Tuyul pun Mau Melakukan Hal ini. Padahal Mereka Sudah Sangat Tahu Bahwa pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan Komunikasi,Menuntut akan adanya Suatu Birokrasi Modern yang Responsif  Terhadap Keinginan Masyarakat (Human Touch), ataukah Jangan-Jangan Mereka Terlena Dengan Karya Monumental sekaligus Provokativ dari Jhon Horgan pada Tahun 1995 Bertitle  “The End Of Science” yang pada Tesisnya Ini Menyebarkan Wabah  Beraroma Kematian Dalam Ilmu Pengetahuan atau Secara Sengaja Mengkafankan Ilmu Pengetahuan. yang Paling Mengkhawatirkan Ialah Apabila Kaum” Orthodoksian Bureaucracy” ( Mary Jo Hart in “Clasical Theory”)  ini Terlanjur Terjebak Dalam Kemapanan Situasional.
            Tentu Beda Halnya dengan Kelompok Pro Perubahan yang Bertitik tolak Dari Pandangan F.W.Taylor dalam Scientific Management”nya yakni Penerapan metode ilmiah pada studi, analisa dan pemecahan masalah organisasi Serta Menawarkan Seperangkat mekanisme untuk meningkatkan efesiensi kerja, dengan Demikian Para Pecinta Keindahan Birokrasi ini Otomatis Tidak Terkena Dampak Krisis Epistimologi (Horgan) dari Contra Reform Group (Grup Anti Perubahan) diatas. Terlebih lagi Mereka Ini (Pro-Reform) Lebih Melihat Dari Beberapa Aspek Mendasar, sehingga Reformasi Birokrasi itu Perlu Untuk Dilakukan. Aspek tersebut antara lain ; 1).Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini. 2).Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik. 3) Tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan. 4) Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah. 5) Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. (PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi).
            Selaput Legitimasi Mengenai Reformasi Birokrasi Diatas Menunjukan Betapa Pentingnya Redesaign Format Birokrasi Agar Handal, Ilmiah, dan Paling Penting adalah Merakyat (Melayani Rakyat). Langkah ini juga Merupakan Salah Satu Bentuk Perwujudan dari Komitmen Pemerintah Untuk Merubah dan Merombak Tatanan Organisasi (Birokrasi) yang Apabila Diukur berdasarkan Asas Efektivitas Dan Efesiensi Sangat Tidak Maksimal Bahkan Cenderung Absurd (Contra Principle). Namun Dalam Perjalanannya Pemerintah Seakan Mengalami Penurunan Kadar Keseriusan Untuk Melanjutkan Komitmen tersebut. Sejak Ditiupkannya Kebijakan Ini Pada Tahun 2008, Kementrian Terkait Dalam Hal Ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi  Masih Tersendat-Sendat Dalam Menjalankan Misi Ini, Entah Karena Terjadi Sirkulasi Kepemimpinaan (Pemilu 2009) Ataukah Menterinya Sibuk Mengamankan Posisi Pada Kabinet yang Baru Terbentuk? Akhirnya Pos Ini Di tempati Oleh E.E Mangindaan yang Konon Katanya Merupakan Kader Terbaik Pemerintahan.
Moratorium PNS,Solusi?
            Bukannya bermaksud untuk Membatasi Hak setiap Warga Negara Untuk Mengabdikan diri di republik ini, Moratorium  PNS Ternyata secara  langsung  menegaskan Bahwa Usaha Penataan Birokrasi Bukan Banalitas Pemerintah Semata. Langkah yang cukup Strategis ini Sudah Bisa Dipastikan akan Menghemat Anggaran Sekitar Rp 3,2 Triliun Rupiah (Republika, 25 Agustus 2011). Kebijakan penundaan sementara rekrutmen Pegawai Negeri Sipil  ini dituangkan dalam Bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) dan ditandatangai oleh tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Meskipun Batas Penghentian Sementara Rekrutmen ini Dinilai Terlalu Singkat yakni Mulai dari Tanggal 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012, Namun Tetap Merupakan salah Satu Instrumen Penting Untuk Menakar Keseriusan Pemerintah Untuk Membenahi Sektor Paling Sensitiv Di Negara ini (Birokrasi).
            Menurut, Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo , secara agregat produktivitas PNS di Indonesia sangat rendah. Artinya Banyak PNS yang Kemudian Tidak Mampu Memberikan Pelayanan Maksimal Kepada  Masyarakat. Kalo memang Seperti itu Maka Moratorium Ini Patut Di Apresiasi Oleh Berbagai Kalangan, Meskipun Menurut Priyo Budi Santoso (Wakil Ketue DPR-RI)  Kebijakan Ini Terkesan Agak Terlambat,Karena Jumlah PNS di Indonesia Sudah Di Luar Batas Kelayakan Negara Demokrasi. Menurut Penulis  Secara Kualitatif PNS yang Sudah menjadi Abdi Negara Perlu Meningkatkan  Kinerjanya supaya Lebih Berkompeten dan Qualified disamping “Keramahan Perilakunya”. Sedangkan Pembatasan Penerimaan PNS Secara Rasional Sangat Diperlukan Sebagai Konsekuensi Logis Dari Analisa Kuantitas,dan Mencegah Pembengkakan “Pamong Praja”, yang Tidak Kompatible Dengan Kondisi Negara.
            Jadi Telalu Dini Untuk Membasahi Bibir Kita Dengan Mengatakan Penghentian Sementara Penerimaan Pegawai Negara Sipil (PNS) atau Moratorium PNS ini Sebagai Solusi, Karena Disamping Masih Menunggu Hasil Dari Kebijakan ini, Juga Ada Beberapa Daerah Di Indonesia yang Masih Membutuhkan Tambahan PNS, Namun Sebagai Sebuah Prodak Pemerintah, Policy Ini Sangat Rasional, Untuk Mendukung Program Reformasi Birokrasi yang Hampir Basi.
‘Do Something’ Daripada ‘Do Nothing’.


Tulisan Ini diterbitkan Oleh Malut Post (Jawa Post Group)
Sekitar Bulan September pada tahun 2011