PENDAHALUAN
Latar Belakang
Semua negara
di dunia tentunya menginginkan adanya ketertiban di dalam masyarakat,
ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban yang diatur oleh hukum. Ketertiban
di dalam masyarakat akan melahirkan ketentraman dan keseimbangan yang otomastis
ikut menjaga stabilitas nasional dalam suatu negara. Indonesia memiliki sejarah
panjang di bidang hukum dimulai dengan dianutnya hukum kolonial, berlakunya
hukum adat di sebagaian masyarakat dan sampai pada harmonisasi hukum agama (Islam)
dengan hukum nasional. Semua pergulatan panjang tentang subtansi norma di dalam
hukum yang dilalui Indonesia diatas adalah demi menjaga ketertiban di dalam
masyarakat.
Masyarakat
akan tertib apabila ada jaminan perlindungan hak-hak sebagai warga negara oleh
negara. Perlindungan hak-hak yang dimaksud adalah dimana semua masyarakat tanpa
membeda-bedakan mendapatkan dengan penuh semua kebutuhan dasarnya. Dan yang
paling penting dari semuanya adalah hak atas tanah. Karena dari tanah
masyarakat akan mampu mengembangkan dan mendapatkan kebutuhan mereka yang
lainnya. Tanah pada hakekatnya adalah milik
seluruh rakyat yang telah hidup mulai dari lahir sampai meninggal dan turun
temurun dalam suatu teritorial daerah, sebelum suatu negara secara formal terbentuk atau yang
dikenal dengan istilah tanah ulayat.[1]
Sementara apabila sutu negara yang lahir kemudian dapat menguasainya hanya
semata –mata untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya.
Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) merupakan suatu upaya bangsa Indonesia
untuk menata dan memandu pembaharuan di bidang agraria / pertanahan demi
kepentingan seluruh rakyat Indonesia yang sebelumnya dijajah belanda dengan
klasifikasi kepemilikan tanah yang sesuai dengan kepentingan kolonial. Salah
satu tujuan dari UUPA ini adalah untuk menghapuskan dualisme di bidang hukum
tanah dengan cara mencabut Agrarische Wet 1870 beserta
ketentuan-ketentuan terkait lainnya, dan mendasarkan diri kepada hukum adat
karena hukum adat dianggap bersumber kepada kesadaran hukum rakyat.[2]
Hak barat
dan hak adat dikonversi oleh UUPA menjadi hak-hak baru yang secara teoritis
telah tercapai unifikasi dalam hukum tanah di Indonesia dewasa ini. Akan tetapi
unifikasi dalam bentuk tidak selalu dengan sendirinya berarti telah terdapat
kesatuan pengertian mengenai isinya. Masalah yang kemudian muncul adalah :
1.
Pengertian-pengertian yang kabur dari beberapa
ketentuan
2.
Belum adanya peraturan pelaksanaan
3.
Peraturan pelaksanaan tidak dijalankan sesuai dengan
isi dan jiwanya
Untuk itu perbaikan yang menyeluruh
harus dilakukan oleh negara melalui bidang terkait agar dapat mengatasi ketiga
masalah tersebut. Peratuaran pelaksanaan yang dianggap dapat menjadi jalan
keluar bagi ketidaksempurnaan UUPA harus bisa menafsirkan jiwa dan semangat
UUPA dalam upaya melindungi hak-hak atas tanah rakyat Indonesia.
Pada
penghujung tahun 2015 Pemerintah Indonesia secara resmi mengeluarkan dan
memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di
Indonesia. PP No 103 Tahun 2015 tersebut sekaligus mencabut pemberlakuan PP No
41 Tahun 1996 yang sebelumnya juga mengatur terkait tempat tinggal dan hunian
orang asing yang berkedudukan di Indonesia. PP No 103 Tahun 2015 menyebutkan
bahwa orang asing yang bertempat tinggal di indonesia dapat memliliki properti
dengan hak pakai selama 70 tahun
(termasuk pembaharuan selama 30 tahun). Yang pada PP sebelumnya yakni PP No 41
Tahun 1996 jangka waktu hak pakai hanya 50 tahun (termasuk pembaharuan hak pakai selama 25
tahun).
Jika di
lihat dalam ketentuan PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, jangka
waktu hak pakai maksimal 25 Tahun. Hal ini berpotensi memunculkan masalah dalam
praktek jika terdapat beberapa aturan pelaksana yang tidak sinkron satu dengan
lainnya, seperti yang di jelaskan diatas. Dari sisi lain semangat PP No 103
Tahun 2015 diragukan dari segi perlindungan warga negara Indonesia yang semakin
hari sangat kesulitan mendapatkan akses properti yang layak dengan harga
terjangkau. Dengan kata lain diberlakukannya PP No 103 Tahun 2015 akan
menjadikan warga negara asing yang mempunyai kemampuan modal serta akses
kapital yang tinggi yang tentu meninggalkan rakyat Indonesia dari segi kepemilian
properti untuk hajat hidup. Indikasi ketidaknetralan Hukum (PP No 103 Tahun 2015) dan keberpihakan hukum
pada ideologi tertentu menjadi relevan untuk bisa dianalisa menggunakan
pendekatan Critical Legal Studies (Teori
Hukum Kritis).
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu Bagaimanakah
Tinjauaan Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis) terhadap PP No 103 Tahun
2015 ?
PEMBAHASAN
Subtansi Norma PP No 103 Tahun 2015
Peraturan
Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian
Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, terdiri dari 13 pasal yang
saling kait-mengait mengatur tentang pemilikan properti orang asing dengan alas
hak berupa Hak Pakai. Pasal yang paling inti dan menjadi ruh peraturan
pemerintah ini serta pengaturan norma baru yang berbeda dari PP sebelumnya terdapat
dalam pasal 3, 6 dan 7. Pasal 3 Mengatur :
1)
Warga
Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki
hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya.
2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian
pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.
Ketentuan
ini sekaligus mensejajarkan hak warga negara Indonesia yang melakukan
perkawinan campuran dengan warga negara biasa, namun yang menjadi kendala
adalah perjanjian pemisahan harta yang di syaratkan ayat (2) pasal 3 diatas
jarang dibuat oleh warga negara Indonesia yang menikah denga warga negara
asing. Ketiadaan perjanjian pemisahan harta mengakibatkan warga negara
Indonesia dipersamakan dengan warga negara asing.
Selanjutnya pada pasal 6 dan 7 memiliki muatan norma baru yang sekaligus
mencabut keberlakuan norma sebelumnya dan menjadi sasaran kajian. Pasal 6
berbunyi :
1)
Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf aangka 1, diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga
puluh) tahun.
2)
Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
3)
Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berakhir, Hak Pakai dapatdiperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh)
tahun.
Pasal 7 :
1)
Rumah
Tunggal di atas tanah Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a angka 2 diberikan Hak
Pakai untuk jangka waktu yang disepakati tidak lebih lama dari 30 (tiga puluh)
tahun.
2)
Dalam
hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Hak Pakai dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai
kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah.
3)
Dalam
hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Hak
Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun
sesuai kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah.
Pasal
6 mengatur rumah tunggal yang diberikan di atas tanah hak pakai dan pasal 7
mengatur rumah tunggal di atas tanah hak pakai di atas hak milik yang dikuasai berdasarkan
perjanjian, yang kedua-duanya memiliki jangka waktu yang sama.
Apabila kita memeriksa ketentuan yang ada di dalam
PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah, maka akan terdapat perbedaan yang sangat berpotensi
memunculkan perdebatan. Pasal 45 PP No 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa :
1)
Hak
Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling
lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama
dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2)
Sesudah
jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah
yang sama.
3)
Hak
Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan kepada :
a)
Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
b)
Perwakilan
negara asing dan perwakilan badan Internasional;
c)
Badan
keagamaan dan badan sosial.
Sebenarnya
jika kita merujuk kepada PP No 41 Tahun 1996 (yang kemudian digantikan dengan PP
No 103 Tahun 2015) Tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia
terdapat kesamaan dan pengaturan norma yang selaras dengan PP 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pasal 5 PP No 41 Tahun 1996 menyebutkan
:
1)
Perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat untuk jangka waktu yang
disepakati, tetapi tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun.
2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari
dua puluh lima tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian
yang baru, sepanjang orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Dapat di lihat dari
kedua peraturan pemerintah yang di buat pada tahun 1996 ini, telah memuat
kesamaan norma dan sesuai dengan maksud dan isyarat UUPA. Subtansi norma yang
terkandung di dalam PP 103 tahun 2015 terutama di dalam pasal 6 dan 7 telah
menimbulkan ketidaksesuaian yang berakibat pada penerapan norma tersebut. Jangka
waktu hak pakai yang menjadi core norm
perubahan dari peraturan pemerintah
tersebut telah membalikkan keadaan hukum di bidang pertanahan dan properti yang
selama telah mapan terbangun dalam bingkai dua peraturan pemertintah yakni PP
No 40 dan 41 Tahun 1996. Selain itu PP 103 Tahun 2015 terkesan dipaksakan
pemberlakuannya oleh negara sehingga akan berdampak pada benturan norma yang
sudah pasti membuat kegaduhan dan kebingungan dalam praktek.
Tinjauan Singkat Tentang Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis)
Critical Legal Studies (Teori Hukum
Kritis) yang kemudian akan disingkat CLS berkembang di Amerika Serikat pada
dasawarsa 1970an, terutama melalui Conference
on Critical Legal Studies pertama yang diselenggarakan pada tahun 1977 yang
mendapat dukungan dari Critique du Droit di
Perancis dan Critical Legal Conference di
Inggris. Gerakan CLS tumbuh dan berkembang dalam periode kekecewaan era pasca
perang Vietnam untuk mengembangkan gagasan mengenai hukum dan lembaga hukum
dengan menciptakan suatu pandangan alternatif mengenai hukum dan masyarakat
guna meningkatkan visi subtantif mengenai kepribadian manusia.[3]
Aliran atau teori CLS ini memiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut
:
1)
CLS ini mengeritik hukum yang berlaku yang dalam
kenyataannya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral.
2)
CLS ini mengeritik hukum yang sarat dan dominan dengan
ideologi tertentu
3)
CLS ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak
berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.
4)
CLS ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran
yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran CLS
ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum.
5)
CLS ini menolak perbedaan antara teori dan praktek,
dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact)
dan nilai (value), yang merupakan
karakteristik dari paham liberal. Dengan demikan, aliran CLS ini menolak kemungkinan
teori murni (pure theory), tetapi
lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi
sosial yang praktis.[4]
Menurut Pendapat Ahli Hukum Amerika
Serikat yang dikenal sebagai pencetus CLS yakni Roberto M. Unger, Teori Hukum
Kritis atau CLS sangat concern mengeritik
hukum yang dilahirkan dari birokrasi (bureaucratic
law) atau dalam bahasa CLS disebut Hukum Pengatur (regulartory law). Hukum birokratis menurut CLS terdiri dari
peraturan-peraturan eksplisit yang ditetapkan dan ditegakkan oleh pemerintah
yang sah. Dimanapun hukum birokratis muncul, ada satu negara yang relatif
secara efektif menentukan kekuasaan berbagai kelompok yang boleh dilaksanakan
terhadap satu sama lain. Keadaan ini konsisten dengan pengakuan bahwa dari
perspektif yang lebih luas, relasi-relasi kekuasaan di antara kelompok-
kelompok ini dapat menentukan seperti apa pemerintahannya dan apa yang dapat
diperbuat pemerintahan itu.[5]
Hukum pengatur (bureaucratic law) tidak memiliki karakteristik universal kehidupan
sosial, hukum ini hanya terbatas pada situasi-situasi yang memisahkan negara
dengan masyarakat. Sebagian standar perilaku berbentuk preskripsi (peraturan
yang mengikat) eksplisit, larangan atau izin yang ditujukan pada kategori umum
orang dan tindakan. Tipe seperti ini merupakan ciri utama hukum birokratis
karena hukum ini menjadi bagian dari wilayah administrasi penguasa terpusat dan
pejabat-pejabat khususnya. Hukum seperti ini sengaja diberlakukan oleh
pemerintah, bukan tercipta secara spontan oleh masyarakat.[6]
Dengan kata lain Pemerintah yang mewakili birokrasi sering kali mengeluarkan
peraturan yang sangat tidak relevan dengan kondisi masyarakat terkini atau
cenderung merugikan masyarakat, dan disinilah CLS bekerja untuk mengkritik dan
membongkar serta memperbaiki buruknya implementasi hukum birokrasi.
Lebih lanjut Roberto M. Unger
menjelaskan bahwa Teori Hukum umum seringkali digunakan sebagai perlindungan
ideologis bagi keputusan-keputusan yang diperintahkan oleh kekuasaan dan
pemeliharaan ketidakadilan. Dari ketimpangan teori hukum umum tersebut muncul
berbagai pertentangan-pertentangan yang dapat mengakibatkan keputusan menjadi
melantur.[7]
Selanjutnya apabila kita mengamati apa yang diajarkan oleh aliran CLS, ternyata
premise yang dikembangkan oleh aliran
legal realisme juga juga menjadi
inspirasi penganut CLS. Menurut penganut CLS karena hukum bukan berdasarkan
kebenaran yang objektif, melainkan hanya berdasarkan kekuasaan, maka hukum
hanya merupakan alat kekuasaan bagi penguasa.[8]
Pada saat lahirnya CLS, para
penganutnya mengkritik pandangan tradisional atas hukum dalam kenyataannya,
baik hukum di negara maju seperti hukum di tempat lahirnya ajaran ini, yaitu
Amerika Serikat, tetapi juga sebenarnya lebih terasa kritikannya itu untuk
hukum yang belum berkembang di negara-negara dunia ketiga, termasuk hukum yang
ada di Indonesia. Karena itu tidak mengherankan jika semua pandangan kaum
fundamentalis dalam hukum yang dalam hal ini dikritik oleh CLS jelas berlaku
juga di Indonesia. Bahkan anggapan kaum fundamentalis hukum seperti hukum itu
objektif, tertentu dan netral, yang menjadi bulan-bulanan kritikan dari CLS
tersebut sebenarnya bukan merupakan hukum dalam kenyataan di Indonesia. Atau
dengan kata lain hukum di Indonesia jelas tidak objektif, tidak tertentu dan
tidak netral.[9]
PP No 103 Tahun
2015 Dalam Tinjauan Critical Legal Studies
(Teori Hukum Kritis)
Peraturan
Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian
Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, ketika diterbitkan
sesungguhnya tidak terlalu mendapat perhatian yang luas dari masyarakat. PP 103
Tahun 2015 tersebut kemudian menjadi perhatian manakala yang menjadi point
perubahan adalah jangka waktu hak pakai sebagaimana yang temuat di dalam pasal
6 dan 7 PP 103 Tahun 2015 tersebut. Pasal 6 menyatakan :
1)
Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf aangka 1, diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga
puluh) tahun.
2)
Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
3)
Dalam hal jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh)
tahun.
Akumulasi
dari pemberian jangka waktu hak pakai kepada warga negara asing yang bertempat
tinggal di Indonesia sesuai pasal 6 diatas mencapai 80 (delapan puluh) Tahun.
Jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah sebelumnya yakni PP No 41 Tahun
1996, pasal 5 yang menyatakan:
1)
Perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dibuat untuk jangka waktu yang
disepakati, tetapi tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun.
2)
Jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperbaharui untuk jangka waktu
yang tidak lebih lama dari dua puluh lima tahun, atas dasar kesepakatan yang
dituangkan dalam perjanjian yang baru, sepanjang orang asing tersebut masih
berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu hak pakai sesuai dengan isyarat pasal 5
diatas tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun, dengan pembaharuan selama 25
(dua puluh lima) tahun. Latar belakang dari perubahan jangka waktu hak pakai
oleh pemerintah lewat PP 103 Tahun 2015 yang menjadi lebih panjang tentu
didasari oleh pertimbangan kepentingan ekonomi, mengingat PP ini sangat
mendukung dan mempercerah prospek industri properti di Indonesia.
Semangat pemerintah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi
sepatutnya harus didukung karena semata-mata demi kesejahteraan rakyat
Indonesia. Namun disisi lain semangat pemerintah dalam berlari mengejar
pertumbuhan ekonomi jangan sampai menabrak apalagi mengobrak-abrik tatanan
serta bangunan hukum yang telah mapan terbangun, apalagi mengesampingkan
kepentingan rakyat Indonesia untuk bisa memiliki properti di bidang pertanahan
dalam situasi yang sangat berat ditengah persaingan dengan warga negara asing. Seperti
yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa jangka waktu Hak Pakai
sesungguhnya telah lama diatur dalam PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang subtansi normanya memiliki keselarasan dengan PP 41 Tahun 1996, maka
sangat tidak bisa di nalar secara hukum apabila pemerintah lewat PP 103 Tahun
2015 (perubahan dari PP 41 Tahun 1996) dengan dalil untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi menciptakan prodak hukum yang timpang dan tidak berkesesuaian, dimana
PP No 40 Tahun 1996 pada kenyataannya belum dicabut keberlakuannya oleh pemerintah.
Apabila dianalisa menggunakan instrumen CLS maka dapat
dilihat pola – pola yang terkandung di dalam PP 103 Tahun 2015 mengarah kepada apa
yang disebut Roberto M Unger sebagai Hukum Birokrasi (bureaucratic law),dimana hukum yang dibuat pemerintah
atau negara yang didalamnya kepentingan masyarakat tidak diikutsertakan. Tidak
dimasukannya kepentingan masyarakat Indonesia di dalam PP 103 Tahun 2015
tersebut bisa dilihat dari :
1)
PP 103 Tahun 2015 dalam kenyataannya telah menabrak
norma yang ada di dalam PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah secara membabi
buta tanpa menghiraukan implikasi hukumnya di dalam praktek.
2)
PP 103 Tahun 2015 Mensejajarkan hak warga negara
Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara biasa, namun
yang menjadi kendala adalah perjanjian pemisahan harta diatas jarang dibuat
oleh warga negara Indonesia yang menikah denga warga negara asing. Ketiadaan
perjanjian pemisahan harta mengakibatkan warga negara Indonesia dipersamakan
dengan warga negara asing. (vide
pasal 3)
3)
PP 103 Tahun
2015 disahkan terlebih dahulu dibanding dengan PP Jaminan Luas
Lahan Pertanian. Padahal, PP tentang Jaminan Luas Lahan Pertanian merupakan
amanat dari UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan PP Reforma
Agraria. Padahal jika dilihat tidak ada urgensi yang memaksa dan mengharuskan
PP 103 Tahun 2015 harus segera diterbitkan mengingat masih ada PP sebelumnya
yang cukup efektif berlaku. Mestinya pemerintah menerbitkan PP Jaminan Luas
Lahan Pertanian dan PP Reforma Agraria ketimbang PP No.103 Tahun 2015. Karena Warga
Negara Asing sanggup menyewa, bahkan membeli aset properti dengan harga mahal
dengan difasilitasi aturan oleh pemerintah. Namun, petani dan masyarakat tak memiliki
tanah (mengontrak) tak kunjung juga difasilitasi pemerintah.
4)
PP No 103 Tahun
2015 mendahulukan serta memfasilitasi kepentingan Warga Negara Asing untuk
membeli rumah murah di Indonesia di tengah situasi Rakyat Indonesia yang
membutuhkan perumahan dengan harga murah.
5)
PP No 103 Tahun
2015 menunjukan pemerintah lebih pro investasi asing daripada
perlindungan hak-hak petani dan masyarakat tak bertanah serta memprioritaskan
reforma agraria sebagai basis rencana penguasaan, pemilikan, peruntukan dan
penggunaan tanah.
Dalam perspektif
CLS ke- 5 (lima) alasan
pengebirian kepentingan masyarakat dalam proses penerbitan PP No 103 Tahun 2015
diatas adalah contoh Hukum yang berpihak kepada Ideologi dan Kepentingan
tertentu dan haruslah dilawan karena bukan merupakan hukum yang baik. Objektif
dan Netral merupakan dua kata yang sulit ditemukan dalam rumusan PP No 103
Tahun 2015 apabila menggunakan pendekatan analisa Teori Hukum Kritis (CLS). PP
103 Tahun 2015 merupakan prodak hukum yang dalam analisa Unger adalah hukum
birokratis yang muncul di suatu negara yang relatif secara efektif menentukan
kekuasaan berbagai kelompok yang boleh dilaksanakan terhadap satu sama lain.
Keadaan ini konsisten dengan pengakuan bahwa dari perspektif yang lebih luas,
relasi-relasi kekuasaan di antara kelompok- kelompok ini dapat menentukan
seperti apa pemerintahannya dan apa yang dapat diperbuat pemerintahan itu.[10]
Relasi kekuasaan antar negara dengan pemodal dan kaum kapitalis yang memiliki
akumulasi modal lebih banyak dan tak terhingga dari pribumi akan menetukan apa
yang akan diperbuat oleh pemerintah.
Indonesia
memang terlalu besar untuk diurus hanya oleh satu pemerintahan saja, apalagi
satu pemerintahan yang juga masih harus terus menerus memperbaiki diri dan
meningkatkan kapasitasnya untuk membawa bangsanya menuju kehidupan yang
sejahtera. Gagasan untuk mengembangkan civil
society memang sedikit membantu. Masyarakat yang demikian itu akan
mendorong partisipasi kekuatan-kekuatan dalam masyarakat untuk tampil dan mengurus sendiri
kepentingan-kepentingan sosial tertentu di dalam masyarakat.[11]
Ketika masyarakat tampil untuk mengurus kepentingannya sendiri maka pemerintah
haruslah bisa memfasilitasi dengan tidak mengeluarkan aturan dan kebijakan yang
kenetralannya masih harus dipertanyakan. Dan menurut tinjauan serta analisa Critical Legal Studies (Teori Hukum
Kritis) /CLS seperti yang telah diuraikan diatas, PP No 103 Tahun 2015 bukanlah
hukum yang baik serta harus dicabut keberlakuannya demi kepentingan dan
perlindungan terhadap seluruh rakyat Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Peraturan Pemerintah
No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian
Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia dalam Tinjauan
CLS merupakan prodak hukum yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat
Indonesia. Dalam pengertian PP No 103 Tahun 2015 tersebut adalah contoh hukum
yang kurang baik dari segi perlindungan terhadap masyarakat Indonesia sesuai
amanat Konstitusi dalam usaha untuk mendapatkan properti murah. PP No 103 Tahun
2015 lebih mendukung usaha warga negara asing untuk dapat memiliki hunian yang
layak di tengah rakyat Indonesia yang kesusahan menyewa tanah dan tempat
tinggal untuk bisa bertahan hidup di negerinya sendiri. Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis) / CLS telah memberikan
perspektif yang bisa digunakan untuk menganalisa dan memecahkan persoalan yang
terdapat di dalam PP No 103 Tahun 2015.
Saran
Sebagai
langkah penyelamatan segenap Tumpah Darah Bangsa Indonesia diharapkan agar
pemerintah Republik Indonesia segera mencabut atau merubah Peraturan Pemerintah
No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian
Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, sebagaimana alasan yang telah
diurai pada bagian pembahasan diatas.
Paper ini merupakan bahan Akademik pada Magister Kenotariatan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
[2] Ibid.hlm.18
[4]Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, Hlm.5-6
[7] A. Mukhtie Fadjar, Op.Cit, Hlm.39
[8] Munir Fuady, Op.Cit, Hlm. 23
[9] Ibid.
[10] Roberto M. Unger, Op.Cit, Hlm.65
[11] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta, Kompas
Media Nusantara, 2007, Hlm.45
DAFTAR PUSTAKA
A.Mukhtie Fadjar, Teori-Teori
Hukum Kontemporer, Malang, Setara Press, 2014.
Erman Rajagukguk, Hukum
dan Masyarakat, Jakarta, Bina Aksara, 1983.
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.
Roberto M. Unger
,Teori Hukum Kritis, Bandung, Nusa
Media, 2008.
Satjipto
Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta,
Kompas Media Nusantara, 2007.
Peraturan
Pemerintah No 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang
Asing Yang Berkedudukan di Indonesia.
Peraturan
Pemerintah No 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang
Asing Yang Berkedudukan di Indonesia.
Peraturan
Pemerintah No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar