Minggu, 16 Maret 2014

Kado Mahkamah Konstitusi Untuk Anak Luar Kawin (Refleksi Hari anak Nasional)




“Demikian, pengucapan Putusan Undang-Undang Perkawinan Perkara Nomor 46, karena ini sangat penting dan revolusioner sebenarnya saya ingin menekankan bahwa sejak hari ini, sejak ketok palu tadi maka anak yang lahir di luar perkawinan resmi. Baik itu kawin siri maupun selingkuhan maupun yang Sejenisnya maka anak yang lahir dari hubungan itu mempunyai hubungan darah dan mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya.”
Moh Mahfud MD , Ketua Mahkamah Konstitusi RI
           
            Begitulah Statement Ketua Mahkamah  Konstitusi, Prof Moh Mahfud MD Seusai Memimpin Sidang Putusan Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang  Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan [Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)] Terhadap UUD RI Tahun 45, Sejak Hari itu Jumat 17 Februari 2012 Secara Otomatis Seluruh Anak-Anak Indonesia yang Terlanjur Lahir Dari Hubungan yang Tidak Resmi, Berhak Mendapatkan Perlindungan Hukum dan Kedudukan Hukum yang Sejajar Dengan Anak-Anak yang Lahir Dari Ikatan Perkawinan Resmi. Sebuah Terobosan Luar Biasa yang Dilakukan Lembaga Pengawal Konstitusi Ini, Walaupun Terdapat Satu Alasan yang Berbeda (Concurring Opinion) Diantara Hakim Konstitusi Dalam Memutus Perkara Ini, Namun Menurut Penulis Secara Pribadi Patut Lembaga Ini Diberi Apresiasi Atas Keberaniannya Mengeliminasi Norma Hukum yang Sudah Mapan, Karena Dianggap Tidak Memberikan Proteksi Hukum Terhadap Anak-Anak Tak Berdosa yang Lahir Dari Kesalahan Orang Tuanya, Meskipun Harus Diakui Bahwa Putusan MK ini Tidak Terlepas Dari Pro dan Kontra Dengan Masing-Masing Argumentasinya.

            Berawal Dari Permohonan Uji Materi UU Perkawinan Terhadap UUD, Oleh Mantan Pedangdut, Machicha Mochtar (Aisya Mochtar) Dengan alasan akibat Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan itu, anak laki-lakinya yang berusia 14 tahun tidak bisa mencantumkan nama ayah biologisnya dalam akta kelahiran. Ayah dimaksud adalah almarhum Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan Sebelum Adanya Putusan MK Ini Berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Namun Setelah Dikeluarkannya Putusan MK Ini, Karena Dianggap Bertentangan Dengan UUD 45, Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan Harus Dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya  yang  dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga  ayahnya”.
Dengan Demikian  Anak-Anak yang Lahir Di Luar Ikatan Perkawinan yang Sah Baik Nikah Sirri (tidak Tercatat) ,Kawin Kontark,  Zina, Korban Pemerkosaan, Praktek Prostitusi, Kumpul Kebo (Samen Laven) Dll, Setelah Perubahan Pasal 43 (1) UU Perkawinan, Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi ini, Langsung  Mempunyai Hubungan Hukum  (Keperdataan) Dengan “Lelaki”  yang Menghamili Ibu Dari Anak Luar Kawin Sehingga Lahirlah Anak Tersebut,  Karena Menurut Pertimbangan MK Anak yang Lahir Di Luar Perkawinan yang sah, harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang  ada  padanya. Pakar Hukum Islam Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Abdul Gofur dalam Kaitannya Dengan Hal ini Berpendapat, “ Anak-anak Luar Kawin itu dilahirkan tanpa dosa  Maka Dari  itu harus Mendapatkan Hak Lebih Dari Pengaturan Hak Anak Luar Kawin Sebelumnya”. Kini Anak Luar Kawin  Mempunyai Kedudukan Hukum yang Setara Dengan Anak-Anak yang Lain Dari Segi Pewarisan Yakni Menjadi Ahli Waris Dari Ayah Biologisnya (tanpa Proses Pengakuan Dari Sang Ayah yang Tercantum dalam  Pasal 272 BW), Berhak Mendapatkan Akte Dengan Pencantuman Nama Ayahnya Dan Semakin Memperkecil Potensi Penelantaran Terhadap Anak Luar Kawin.

Sebagian Besar Kalangan Memuji serta Mendukung --Meminjam Istilah Saharuddin Daming Salah Satu  Anggota Komnas HAM—Terobosan Spektakuler  MK  ini, Namun ada Pula Yang  Melayangkan  Kritik dan Protes Terhadap Putusan Ini, Argumentasi yang Dibangun  Pihak yang Kontra Terhadap Putusan Ini Adalah Sebagaimana yang  Dikatakan ”  Syamsuar Basyariah, Ketua ICMI Aceh Barat, “Jika anak luar nikah diakui bisa membawa implikasi bahwa perkawinan orang tuanya dianggap sah ,Maka Alangkah Baiknya Putusan Itu Dikaji Ulang”  Tidak Berhenti Disitu Majelis Ulama Indonesia Melalui Fatwa No 11 Tahun 2012 Sebulan Setelah MK  Mengeluarkan Putusannya, Mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan  kelahirannya. Tetapi MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran. Kritikan Bertubi- Tubi  Dari Kalangan Ulama Datang Karena Muncul Penafsiran yang Keliru Dalam Masyarakat yang Mengatakan  Bahwa Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 ini  Untuk Melegalkan/Menghalalkan Perzinahan, Namun Hal itu Telah Dibantah Oleh Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menegaskan putusan MK semata berupaya melindungi anak luar kawin yang tidak berdosa, bukan membenarkan  tindakan perzinahan  Sebab memberikan perlindungan terhadap anak dan persoalan perzinahan merupakan dua rezim Hukum yang berbeda.
Terlepas Dari Kritikan yang Di Lontarkan Kepada Mahkamah Konstitusi Kaitannya Dengan Putusan No 46/PUU-VIII/2010 Tersebut, Menurut Hemat Penulis MK Mempunyai Niat Baik Untuk Melindungi Seluruh Anak Luar Kawin yang Merupakan Korban Dari Kekhilafan Kedua Orang Tuanya Serta Cenderung Ditelantarkan. Apabila Kita Dengan Cerrnat Membaca Seluruh Salinan Putusan MK Tersebut Dari Awal Hingga Akhir Maka Kita Akan Melihat Bagaimana Sebuah Metamorfosa  Niat Baik yang Tak Terlihat Secara Inderawi  Berubah Menjadi Sebuah Aturan Formal Tertulis yang  Mengamputasi Diskriminasi Sosial Terhadap Anak-Anak Tak Berdosa yang  “Kebetulan” Lahir Di Luar Perkawinan yang Sah. Sungguh Merupakan Kado Terindah Bagi Seluruh Anak Luar Kawin Di Nusantara Ini. Penulis Yakin Benar Jika Putusan Mahkamah Konstitusi Ini Diberlakukan Dengan Baik dan Maksimal Maka Senyum Seluruh Anak Luar Kawin Di Indonesia  Akan Selebar Anak-Anak yang Lain.
Selamat Hari Anak Nasional.

Tulisan ini diambil dari buku Kumpulan Tulisan berjudul "Potret Hukum dan Demokrasi"  yang disunting oleh Indra Talip Moti dan Syafrin S. Aman. Diterbitkan Oleh KOPI.PRESS, Tulisan ini juga Sempat dimuat pada beberapa Media Lokal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar