Sabtu, 15 Maret 2014

Urgensi Moratorium PNS (Menakar Keseriusan Pemerintah dalam Mereformasi Birokrasi)


            Bukan merupakan fenomena yang aneh, ketika sebagai warga Negara kita seringkali harus berurusan dan diperhadapkan  dengan dilema  birokrasi. tidak jarang  Harapan dan keinginan kita untuk secepatnya menuntaskan Kewajiban Kewarganegaraan  sering kali tidak sesuai dengan Kenyataan yang diharapkan alias Mendapat “Masalah”,  bahkan tak jarang Telinga kita pun berdarah-darah tatkala mendengar statment pedas nan Menyakitkan hingga menembus relung hati yang paling dalam, saat vis to vis dengan Aparatur birokrat, yang Sejogjanya Harus Menjadi Babu (pelayan) bagi kita rakyat Biasa dan tidak mengeluh, menggerutu, maupun Membangkang terhadap permintaan kita sebagai Masyarakat, yah namanya juga babu!!!.  Kalau sudah begitu jadinya, Maka hilanglah gairah kita untuk sekedar membaca Pengertian Pelayanan dalam KEPMENPAN No 81 Tahun  1993 yang isinya : “Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan semakin membuat kita tidak bersemangat untuk melihat Pengertian Pelayanan Publik dalam KEPMENPAN NO. 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang secara gramatikal berbunyi : “Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hal Diatas juga Ternyata Turut Menghina Pendapat dari David Osborne Dan Ted Gaebler yang menyarankan bahwa birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi masyarakat. Jika sudah begini maka anda yang tiap saat bergelut dengan dunia birokrasi  siap-siaplah untuk menangis Karena hampir bisa dipastikan harapan anda tidak akan digubris.
Pentingkah Reformasi Birokrasi?
            Tentu jawaban akan “tidak” bagi para pembela dan fanatik serta Pro Status Quo. Lho Kok Mereka nda Mau? Ya Tentunya Secara Akal Sehat (Common Sense­) Apabila terjadi Perubahan dalam Tubuh Birokrasi Maka Mereka-Mereka inilah yang akan Tergilas Oleh Derasnya Arus Reformasi. Sudah Bisa Dipastikan Bahwa Pemuka-Pemuka Status Quo ini Belum Begitu Paham dan “tidak mau” Mengerti Mengenai Esensi Dari Reformasi Birokrasi itu sendiri. Apalagi Ditambah Dengan Suatu Gejala yang sangat “Mengasyikan” Bagi Para  Anti-Reformasi Birokrasi, yakni Pemeliharaan Praktek Pungli yang Memperindah Ketebalan Kantong , sungguh Ironi Bahkan Tuyul pun Mau Melakukan Hal ini. Padahal Mereka Sudah Sangat Tahu Bahwa pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan Komunikasi,Menuntut akan adanya Suatu Birokrasi Modern yang Responsif  Terhadap Keinginan Masyarakat (Human Touch), ataukah Jangan-Jangan Mereka Terlena Dengan Karya Monumental sekaligus Provokativ dari Jhon Horgan pada Tahun 1995 Bertitle  “The End Of Science” yang pada Tesisnya Ini Menyebarkan Wabah  Beraroma Kematian Dalam Ilmu Pengetahuan atau Secara Sengaja Mengkafankan Ilmu Pengetahuan. yang Paling Mengkhawatirkan Ialah Apabila Kaum” Orthodoksian Bureaucracy” ( Mary Jo Hart in “Clasical Theory”)  ini Terlanjur Terjebak Dalam Kemapanan Situasional.
            Tentu Beda Halnya dengan Kelompok Pro Perubahan yang Bertitik tolak Dari Pandangan F.W.Taylor dalam Scientific Management”nya yakni Penerapan metode ilmiah pada studi, analisa dan pemecahan masalah organisasi Serta Menawarkan Seperangkat mekanisme untuk meningkatkan efesiensi kerja, dengan Demikian Para Pecinta Keindahan Birokrasi ini Otomatis Tidak Terkena Dampak Krisis Epistimologi (Horgan) dari Contra Reform Group (Grup Anti Perubahan) diatas. Terlebih lagi Mereka Ini (Pro-Reform) Lebih Melihat Dari Beberapa Aspek Mendasar, sehingga Reformasi Birokrasi itu Perlu Untuk Dilakukan. Aspek tersebut antara lain ; 1).Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini. 2).Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik. 3) Tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan. 4) Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah. 5) Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. (PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi).
            Selaput Legitimasi Mengenai Reformasi Birokrasi Diatas Menunjukan Betapa Pentingnya Redesaign Format Birokrasi Agar Handal, Ilmiah, dan Paling Penting adalah Merakyat (Melayani Rakyat). Langkah ini juga Merupakan Salah Satu Bentuk Perwujudan dari Komitmen Pemerintah Untuk Merubah dan Merombak Tatanan Organisasi (Birokrasi) yang Apabila Diukur berdasarkan Asas Efektivitas Dan Efesiensi Sangat Tidak Maksimal Bahkan Cenderung Absurd (Contra Principle). Namun Dalam Perjalanannya Pemerintah Seakan Mengalami Penurunan Kadar Keseriusan Untuk Melanjutkan Komitmen tersebut. Sejak Ditiupkannya Kebijakan Ini Pada Tahun 2008, Kementrian Terkait Dalam Hal Ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi  Masih Tersendat-Sendat Dalam Menjalankan Misi Ini, Entah Karena Terjadi Sirkulasi Kepemimpinaan (Pemilu 2009) Ataukah Menterinya Sibuk Mengamankan Posisi Pada Kabinet yang Baru Terbentuk? Akhirnya Pos Ini Di tempati Oleh E.E Mangindaan yang Konon Katanya Merupakan Kader Terbaik Pemerintahan.
Moratorium PNS,Solusi?
            Bukannya bermaksud untuk Membatasi Hak setiap Warga Negara Untuk Mengabdikan diri di republik ini, Moratorium  PNS Ternyata secara  langsung  menegaskan Bahwa Usaha Penataan Birokrasi Bukan Banalitas Pemerintah Semata. Langkah yang cukup Strategis ini Sudah Bisa Dipastikan akan Menghemat Anggaran Sekitar Rp 3,2 Triliun Rupiah (Republika, 25 Agustus 2011). Kebijakan penundaan sementara rekrutmen Pegawai Negeri Sipil  ini dituangkan dalam Bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) dan ditandatangai oleh tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Meskipun Batas Penghentian Sementara Rekrutmen ini Dinilai Terlalu Singkat yakni Mulai dari Tanggal 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012, Namun Tetap Merupakan salah Satu Instrumen Penting Untuk Menakar Keseriusan Pemerintah Untuk Membenahi Sektor Paling Sensitiv Di Negara ini (Birokrasi).
            Menurut, Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo , secara agregat produktivitas PNS di Indonesia sangat rendah. Artinya Banyak PNS yang Kemudian Tidak Mampu Memberikan Pelayanan Maksimal Kepada  Masyarakat. Kalo memang Seperti itu Maka Moratorium Ini Patut Di Apresiasi Oleh Berbagai Kalangan, Meskipun Menurut Priyo Budi Santoso (Wakil Ketue DPR-RI)  Kebijakan Ini Terkesan Agak Terlambat,Karena Jumlah PNS di Indonesia Sudah Di Luar Batas Kelayakan Negara Demokrasi. Menurut Penulis  Secara Kualitatif PNS yang Sudah menjadi Abdi Negara Perlu Meningkatkan  Kinerjanya supaya Lebih Berkompeten dan Qualified disamping “Keramahan Perilakunya”. Sedangkan Pembatasan Penerimaan PNS Secara Rasional Sangat Diperlukan Sebagai Konsekuensi Logis Dari Analisa Kuantitas,dan Mencegah Pembengkakan “Pamong Praja”, yang Tidak Kompatible Dengan Kondisi Negara.
            Jadi Telalu Dini Untuk Membasahi Bibir Kita Dengan Mengatakan Penghentian Sementara Penerimaan Pegawai Negara Sipil (PNS) atau Moratorium PNS ini Sebagai Solusi, Karena Disamping Masih Menunggu Hasil Dari Kebijakan ini, Juga Ada Beberapa Daerah Di Indonesia yang Masih Membutuhkan Tambahan PNS, Namun Sebagai Sebuah Prodak Pemerintah, Policy Ini Sangat Rasional, Untuk Mendukung Program Reformasi Birokrasi yang Hampir Basi.
‘Do Something’ Daripada ‘Do Nothing’.


Tulisan Ini diterbitkan Oleh Malut Post (Jawa Post Group)
Sekitar Bulan September pada tahun 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar