Bukan merupakan fenomena yang aneh,
ketika sebagai warga Negara kita seringkali harus berurusan dan
diperhadapkan dengan dilema birokrasi. tidak jarang Harapan dan keinginan kita untuk secepatnya
menuntaskan Kewajiban Kewarganegaraan sering kali tidak sesuai dengan Kenyataan yang
diharapkan alias Mendapat “Masalah”, bahkan tak jarang Telinga kita pun
berdarah-darah tatkala mendengar statment pedas nan Menyakitkan hingga menembus
relung hati yang paling dalam, saat vis
to vis dengan Aparatur birokrat, yang Sejogjanya Harus Menjadi Babu (pelayan) bagi kita rakyat Biasa
dan tidak mengeluh, menggerutu, maupun Membangkang terhadap permintaan kita
sebagai Masyarakat, yah namanya juga babu!!!.
Kalau sudah begitu jadinya, Maka
hilanglah gairah kita untuk sekedar membaca Pengertian Pelayanan dalam
KEPMENPAN No 81 Tahun 1993 yang isinya :
“Pelayanan adalah
suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik
di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam
rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku” dan semakin membuat kita tidak bersemangat untuk melihat
Pengertian Pelayanan Publik dalam KEPMENPAN NO. 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang secara
gramatikal berbunyi : “Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Hal Diatas juga Ternyata Turut Menghina Pendapat dari David Osborne
Dan Ted Gaebler yang menyarankan bahwa birokrasi harus berubah menjadi
birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi masyarakat. Jika sudah begini
maka anda yang tiap saat bergelut dengan dunia birokrasi siap-siaplah untuk menangis Karena hampir
bisa dipastikan harapan anda tidak akan digubris.
Pentingkah
Reformasi Birokrasi?
Tentu jawaban akan “tidak” bagi para
pembela dan fanatik serta Pro Status Quo.
Lho Kok Mereka nda Mau? Ya Tentunya Secara Akal Sehat (Common Sense) Apabila terjadi Perubahan dalam Tubuh Birokrasi Maka
Mereka-Mereka inilah yang akan Tergilas Oleh Derasnya Arus Reformasi. Sudah
Bisa Dipastikan Bahwa Pemuka-Pemuka Status
Quo ini Belum Begitu Paham dan “tidak mau” Mengerti Mengenai Esensi Dari
Reformasi Birokrasi itu sendiri. Apalagi Ditambah Dengan Suatu Gejala yang
sangat “Mengasyikan” Bagi Para
Anti-Reformasi Birokrasi, yakni Pemeliharaan Praktek Pungli yang Memperindah
Ketebalan Kantong , sungguh Ironi Bahkan Tuyul pun Mau Melakukan Hal ini.
Padahal Mereka Sudah Sangat Tahu Bahwa pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi informasi dan Komunikasi,Menuntut akan adanya Suatu Birokrasi Modern
yang Responsif Terhadap Keinginan
Masyarakat (Human Touch), ataukah
Jangan-Jangan Mereka Terlena Dengan Karya Monumental sekaligus Provokativ dari
Jhon Horgan pada Tahun 1995 Bertitle “The
End Of Science” yang pada Tesisnya Ini Menyebarkan Wabah Beraroma Kematian Dalam Ilmu Pengetahuan atau Secara
Sengaja Mengkafankan Ilmu Pengetahuan. yang Paling Mengkhawatirkan Ialah
Apabila Kaum” Orthodoksian Bureaucracy” ( Mary
Jo Hart in “Clasical Theory”) ini Terlanjur Terjebak
Dalam Kemapanan Situasional.
Tentu Beda Halnya dengan Kelompok
Pro Perubahan yang Bertitik tolak Dari Pandangan F.W.Taylor dalam “Scientific Management”nya
yakni Penerapan metode ilmiah pada studi, analisa dan pemecahan masalah
organisasi Serta Menawarkan Seperangkat mekanisme untuk meningkatkan efesiensi
kerja, dengan Demikian Para Pecinta Keindahan Birokrasi ini Otomatis Tidak
Terkena Dampak Krisis Epistimologi (Horgan)
dari Contra Reform Group (Grup Anti Perubahan)
diatas. Terlebih lagi Mereka Ini (Pro-Reform)
Lebih Melihat Dari Beberapa Aspek Mendasar, sehingga Reformasi Birokrasi itu
Perlu Untuk Dilakukan. Aspek tersebut antara lain ; 1).Praktek Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini. 2).Tingkat kualitas
pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik. 3) Tingkat
efisiensi, efektifitas dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi
pemerintahan. 4) Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan
yang masih rendah. 5) Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. (PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman
Umum Reformasi Birokrasi).
Selaput Legitimasi Mengenai
Reformasi Birokrasi Diatas Menunjukan Betapa Pentingnya Redesaign Format
Birokrasi Agar Handal, Ilmiah, dan Paling Penting adalah Merakyat (Melayani Rakyat). Langkah ini juga Merupakan
Salah Satu Bentuk Perwujudan dari Komitmen Pemerintah Untuk Merubah dan
Merombak Tatanan Organisasi (Birokrasi) yang Apabila Diukur berdasarkan Asas
Efektivitas Dan Efesiensi Sangat Tidak Maksimal Bahkan Cenderung Absurd (Contra Principle). Namun Dalam
Perjalanannya Pemerintah Seakan Mengalami Penurunan Kadar Keseriusan Untuk
Melanjutkan Komitmen tersebut. Sejak Ditiupkannya Kebijakan Ini Pada Tahun 2008,
Kementrian Terkait Dalam Hal Ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan
Reformasi Birokrasi Masih
Tersendat-Sendat Dalam Menjalankan Misi Ini, Entah Karena Terjadi Sirkulasi
Kepemimpinaan (Pemilu 2009) Ataukah Menterinya Sibuk Mengamankan Posisi Pada
Kabinet yang Baru Terbentuk? Akhirnya Pos Ini Di tempati Oleh E.E Mangindaan
yang Konon Katanya Merupakan Kader Terbaik Pemerintahan.
Moratorium
PNS,Solusi?
Bukannya bermaksud untuk Membatasi
Hak setiap Warga Negara Untuk Mengabdikan diri di republik ini, Moratorium PNS Ternyata secara langsung
menegaskan Bahwa Usaha Penataan Birokrasi Bukan Banalitas Pemerintah
Semata. Langkah yang cukup Strategis ini Sudah Bisa Dipastikan akan Menghemat
Anggaran Sekitar Rp 3,2 Triliun Rupiah (Republika,
25 Agustus 2011). Kebijakan penundaan sementara rekrutmen Pegawai Negeri Sipil ini dituangkan dalam Bentuk Surat Keputusan
Bersama (SKB) dan
ditandatangai oleh tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan Agus Martowardojo,
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan dan
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Meskipun Batas Penghentian Sementara
Rekrutmen ini Dinilai Terlalu Singkat yakni Mulai dari Tanggal 1
September 2011 hingga 31 Desember 2012, Namun Tetap Merupakan salah Satu
Instrumen Penting Untuk Menakar Keseriusan Pemerintah Untuk Membenahi Sektor
Paling Sensitiv Di Negara ini (Birokrasi).
Menurut, Pengamat
Ekonomi Dradjad Wibowo , secara agregat produktivitas PNS di Indonesia sangat
rendah. Artinya Banyak PNS yang Kemudian Tidak Mampu Memberikan Pelayanan
Maksimal Kepada Masyarakat. Kalo memang
Seperti itu Maka Moratorium Ini Patut Di Apresiasi Oleh Berbagai Kalangan,
Meskipun Menurut Priyo Budi Santoso (Wakil Ketue DPR-RI) Kebijakan Ini Terkesan Agak Terlambat,Karena
Jumlah PNS di Indonesia Sudah Di Luar Batas Kelayakan Negara Demokrasi. Menurut
Penulis Secara Kualitatif PNS yang Sudah
menjadi Abdi Negara Perlu Meningkatkan
Kinerjanya supaya Lebih Berkompeten dan Qualified disamping “Keramahan Perilakunya”. Sedangkan
Pembatasan Penerimaan PNS Secara Rasional Sangat Diperlukan Sebagai Konsekuensi
Logis Dari Analisa Kuantitas,dan Mencegah Pembengkakan “Pamong Praja”, yang Tidak Kompatible Dengan Kondisi Negara.
Jadi Telalu Dini
Untuk Membasahi Bibir Kita Dengan Mengatakan Penghentian Sementara Penerimaan
Pegawai Negara Sipil (PNS) atau Moratorium PNS ini Sebagai Solusi, Karena
Disamping Masih Menunggu Hasil Dari Kebijakan ini, Juga Ada Beberapa Daerah Di
Indonesia yang Masih Membutuhkan Tambahan PNS, Namun Sebagai Sebuah Prodak
Pemerintah, Policy Ini Sangat
Rasional, Untuk Mendukung Program Reformasi Birokrasi yang Hampir Basi.
‘Do Something’ Daripada ‘Do Nothing’.
Tulisan Ini diterbitkan Oleh Malut Post (Jawa Post Group)
Sekitar Bulan September pada tahun 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar