Rabu, 16 Maret 2016

Perbankan Syariah dan Permasalahan Riba

PENDAHALUAN
       Latar Belakang
Pengakuan sekaligus penerapan sistem keuangan berbasis syariah dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, dimana Undang-Undang ini secara eksplisit  mengatur perihal Dual Banking System. Hal ini menunjukan bahwa seluruh rakyat Indonesia telah bersepakat  selain perbankan konvensional, perbankan syariah juga harus mendapat tempat sebagai Lembaga Keuangan Syariah yang patut untuk dikembangkan dan dioperasikan dalam sistem perbankan nasional. Pada tahun 1998 Dual Banking System semakin mantap untuk diterapkan didalam sistem perbankan nasional  di Indonesia karena pada tahun tersebut mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang semakin menguatkan dan mengakui eksistensi lembaga keuangan (perbankan) syariah di Indonesia.       
Seiring berjalannya waktu dan dengan perkembangan zaman yang semakin cepat masyarakat Indonesia terlihat semakin membutuhkan kehadiran perbankan syariah sebagai alternatif atas dominasi perbankan konvensional. Maka dari itu pada tahun 2008 Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menegaskan eksistensi perbankan syariah dengan pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya Undang-Undang Perbankan Syariah dan adanya Undang-Undang Perbankan (Konvensional) di Indonesia menunjukan adanya respon terhadap kebutuhan masyarakat dan percepatan pembangunan di bidang ekonomi yang merupakan penggerak utama pembangunan.
Secara filosofis Perbankan Syariah sesuai denga labelnya adalah Institusi keuangan yang berbasis syariah Islam. Hal ini berarti secara makro Bank Syariah adalah institusi keuangan yang memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung kegiatan investasi di masyarakat. Di satu sisi (sisi pasiva atau liability), Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang mendorong dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai produknya, sedangkan di sisi yang lain (sisi aktiva atau aset) Bank Syariah aktif untuk melakukan investasi di masyarakat. Dalam kacamata mikro Bank Syariah adalah institusi keuangan yang menjamin seluruh aktifitas investasi yang menyertainya telah sesuai dengan syariah.[1]
Penyebutan Bank Syariah sebagai Bank Islam telah menjadi istilah yang diapakai secara luas. Bank Islam telah berkembang pesat pada dekade terakhir serta telah menjadi satu tren yang sangat penting dalam dunia keuangan, dimana produk dan jasa keuangan yang ditawarkan harus sesuai dengan syariah atau hukum Islam. Dengan mengembangkan apalikasi syariah menjadi alternatif lain dengan bank konvensional, dimana sekarang produk bank Islam mengakomodasi kebutuhan jangka pendek, jangka panjang, dari keinginan konsumen. Bank Islam didasarkan pada prinsip hukum Islam. Sistem Bank Islam menawarkan fungsi dan jasa yang sama dengan sistem bank konvensional meskipun diikat oleh prinsip-prinsip Islam. Sistem operasi dari Bank Islam berdasarkan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian. Upaya mendirikan Bank Islam (Syariah) didasarkan atas pemahaman bahwa bunga bank yang ditimbulkan dari transasksi simpan pinjam dan kegiatan keuangan yang lainnya di bank konvensional adalah Riba, sebagaimana yang dilarang dalam Islam. Allah SWT dalam Al-Quran secara tegas dan jelas mengharamkan riba dalam berbagai jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.[2]   
Prinsip Bank Islam yang paling utama adalah mejauhi sekaligus menghilangkan unsur riba (Bunga Bank) dengan cara yaitu :
1.        Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional.
2.        Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang menngandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu.
3.        Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (barang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
4.        Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional.[3]      
Alasan diharamkannya Riba atau Bunga Bank menurut Abdul A’la Maududi yang diikuti oleh Muhammad Netajullah Shiddiqi dalam bukunya yang berjudul Muslim Economic Thinking yang diterjemahkan oleh A.M Saefuddin dengan judul Pemikiran Ekonomi Islam berpendapat bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber keburukan ekonomi, seperti depresi dan monopoli. Kemudian menurut Yusuf Al-Qardhawi dalam Fawaid al-Bunuuk, menjelaskan setiap pinjaman yang mensyaratkan di dalamnya tambahan adalah riba. Bunga dari pinjaman tersebut adalah riba yang diharamkan Allah SWT di dalam Kitabnya yaitu Al-Quran.[4]
Prinsip utama Perbankan Syariah sesuai dengan penjelasan di atas adalah tidak adanya unsur Riba dalam setiap aktivitas dan operasional Bank Syariah. Namun dalam praktik dan kebiasaan yang berkembang pada Bank-Bank Syariah di Indonesia sering ditemukan aktifitas yang menjurus dan cenderung disebut sebagai riba. Hal ini dikarenakan riba yang diterapkan oleh sistem perbankan konvensional telah menggurita dan menjadi rujukan bagi operasional bank syariah dalam mendapatkan keuntungan bisnisnya. Akibat dari praktek tersebut penerapan kaidah-kaidah syariah Islam di Perbankan Syariah selama ini masih memunculkan keraguan bagi sebagian besar umat, terutama mereka yang bermuamalah secara langsung. Sejatinya prinsip keadilan dan transparansi menjadi dasar yang harus disepakati antara Bank Syariah dan Masyarakat (Nasabah).

      Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu  Apakah di dalam Aktivitas  Perbankan Syariah terdapat Unsur Riba?

PEMBAHASAN

      Tinjauan Hukum Islam Tentang Perbankan Syariah
Sebagai Institusi Keuangan Syariah tentunya Perbankan Syariah haruslah dibentuk dan dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam Hukum Islam. Hukum Islam sebagai core dari Perbankan Syariah telah sangat jelas mengatur batasan-batasan baik tentang sistem jual-beli dan seluruh sistem transaksi keuangan lainnya. Dasar hukum normatif perbankan syariah ditinjau dari hukum Islam bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad. Ketentuan ini akan dikeluarkan dalam bentuk Fatwa Dewan Syariah Nasional. Kekuatan mengikat fatwa itu bersifat normatif, artinya fatwa itu hanya mengikat kepada yang memfatwakan atau yang mengeluarkan fatwa dan bagi yang menerima atau menundukan diri atas fatwa tersebut. Karena sifat dan kekuatannya seperti itu maka berlakunya belum secara mutlak bagi seluruh umat Islam. Berbeda halnya jika ketentuan itu langsung dari Al-Quran dan Sunnah, secara otomatis langsung mengikat bagi umat Islam di Indonesia.[5]
Falsafah dasar perbankan syariah merujuk kepada ajaran agama Islam yang bersumber pada Wahyu Illahi dan Sunnaturasul adalah sebagai berikut :
1.    Ibadah,  berarti memperhambakan diri kepada Allah SWT. Dengan mentaati segala perintah-Nya serta dengan menjauhi segala larangan-Nya sebagaimana yang diatur dalam ketentuan syariat. Sedangkan muammalah adalah ketentuan syariat yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia seperti jual beli/perdagangan, perkongsian, sewa menyewa, pinjam meminjam dan sebagainya. 
2.    Syariat, adalah hukum atau peraturan yang ditentukan oleh Allah SWT untuk hambanya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Quran dan diterangkan oleh Rasul SAW dalam bentuk sunnah Rasul. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Jaatsiyah (45) : 18 yang artinya “Kemudian kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
3.    Sunnah Rasul, sebagaimana dijelaskan diatas adalah segala sesuatu yang dikatakan, dilakukan, ditinggalkan dan/atau yang didiamkan berlaku/dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Unsur lainnya dalam Islam di samping syariat adalah akidah dan akhlak.
4.    Akidah, adalah segala sesuatu yang menyangkut keyakinan atau kepercayaan atau iman akan adanya wujud Allah SWT. Akhlak adalah sikap mental atau watak yang terjabarkan dalam bentuk cara berpikir, cara berbicara, cara bertingkah laku, sebagai ekspresi jiwa dari manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
5.    Pola perilaku konsumsi, merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur pola perilaku konsumsi seperti yang terdapat dalam Al-Quran dibawah ini memungkinkan umat Islam mempunyai sisa dana untuk kegiatam ekonomi :
a)    QS. Al-Baqarah (2) : 183, yang artinya “ Hai Orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
b)   QS, Al-Araf (7) : 31, yang artinya “Hei anak Adam pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
c)    QS. Al-Isra’ (17) : 26 yang artinya “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan hak-Nya, kepada orang miskin, dan orang yang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.
6.    Pola perilaku simpanan, ketentuaan yang mengatur pola perilaku simpanan seperti yang terdapat dalam Al-Quran tersebut, di bawah ini mengharuskan umat Islam untuk melakukan investasi dan perdagangan :
a)    QS. Al-Baqarah (2) : 275, yang artinya “ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan stan lantaran (tekanan0 penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya hjual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
b)   QS. Ali Imran (3) : 130, yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
c)    QS. An-Nisa’ (4) : 161, yang artinya “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dank arena mereka memakan harta orang dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
7.    Pola perilaku investasi, dibentuk sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadis, yaitu dana yang telah terkumpul dari simpanan tidak boleh dibungakan, tetapi harus dilakukan hal berikut ini :
a)    Dijadikan modal usaha perdagangan sebagaimana, disebutkan dalam Al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta se-samamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa’ (4) : 29). “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” QS. Al-Baqarah  (2) : 275).
b)   Ditanamkan pada suatu usaha yang menghasilakan barang dan jasa atau dititipkan kepada pengelola dengan sistem bagi hasil, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran, “…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagiana karunia Allah…” (QS. Al-Muzzammil (73) : 20).[6]
Oleh karena berdasarkan Falsafah Dasar Perbankan Syariah yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul  tersebut maka didirikanlah bank Islam, karena  secara umum sistem perbankan konvensional berbasis kepada bunga (riba) serta memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut :
1.    Transaksi berbasis bunga (riba)  melanggar keadilan dalam Islam.
2.    Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga (bunga) menyebabkan kebangkrutan.
3.    Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya. 
4.    Sistem transasksi berbasis bunga (riba) menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil.
5.    Dalam sistem bunga (riba), bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.[7]     
Maka untuk menggantikan sistem bunga/riba sebagaimana yang diterapkan pada perbankan konvensional, Perbankan Syariah menyediakan fasilitas di bidang keuangan yang sesuai dengan hukum Islam sebagai berikut :
1.    Wadiah, yaitu titipan uang, barang dan surat-surat berharga. Dalam operasinya, bank Islam menghimpun  dengan cara menerima deposito berupa uang benda dan surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank syariah. Bank syariah berhak menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun bank harus menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilih deposito memerlukannya.
2.    Mudharabah, yakni kerjasama antar pemilik modal dan pelaksana. Dengan mudharabah, Bank syariah dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha  untuk perusahannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untuk maupun rugi sesuai dengan  perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.
3.    Musyarakah/syrkah, yakni persekutuan. Pihak bank dan pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam mengelola patungan itu dan menanggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian profit and loss sharing.
4.    Murabahah, yakni jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur. Syarat murabahah antara lain bahwa pihak bank harus memberikan informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan keuntungan bersihnya dari cost plus-nya.
5.    Qard Hasan, yakni pinjaman yang baik. Bank Syariah dapat memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik terutama para nasabah yang memiliki deposito di bank syariah.
6.    Bank Syariah boleh mengelola zakat di negara yang pemerintahnya tidak mengelola zakat secara langsung. Bank Syariah juga dapat menggunakan sebagaian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum. Bank Syariah juga boleh menerima dan memungut  pembayaran untuk mengganti biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah misalnya materai dan telpon dalam memberitahukan rekening.
7.    Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan nasabah untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada umumnya.[8]
Dalam falsafah pembiayaan di Perbankan Syariah kaitan antara bank dengan uang dalam suatu unit bisnis adalah penting, namun di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya ketidakadilan, ketidakjujuran dan “penghisapan” (penghisapan pada umumnya bank konvensional melakukan transasksi yang bersifat selalu untung dan tidak pernah rugi) dari satu pihak ke pihak lain (bank dengan nasabahnya). Kedudukan Bank Syariah dengan para nasabah adalah sebagai mitra investor dan pedagang sedangkan dalam hal bank pada umumnya (konvensional) hubungannya adalah sebagai kreditor dan debitor. Dalam pelaksanaan pembiayaan Bank Syariah harus memenuhi aspek syariah dan aspek ekonomi. Aspek syariah berarti dalam setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah, bank syariah harus tetap berpedoman pada syariat Islam (anatara lain tidak mengandung unsur maisir, gharar dan riba serta bidang usahanya harus halal). Sedangkan aspek ekonomi berarti di samping mempertimbangkan hal-hal syariah bank Islam tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan baik bagi Bank Syariah maupun bagi nasabah Bank Syariah.[9]

      Pengertian Riba
 Istilah riba berasal dari akar kata r-b-w, yang digunakan dalam Al-Quran sebanyak dua puluh kali, di dalam Al-Quran term riba dipahami dalam delapan macam arti yaitu : pertumbuhan (growing), peningkatan (increasing), bertambah (swelling), meningkat (rising), menjadi besar (being big , besar (big), dan bukit kecil (hillock). Walaupun istilah riba tampak dalam beberapa makna namun dapat diambil satu pengertian umum yaitu meningkat baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.[10] Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis Universitas Islam Syarif Hidayatullah :
Ar-Riba atau Ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara ‘, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran.[11]

Riba mencegah kebaikan dan meniadakan pengharapan orang-orang yang memiliki kebutuhan terhadap orang lain. Riba mengambil keuntungan dan kebutuhan orang lain. Sedangkan Islam menginginkan agar manusia berbuat baik terhadap sesamanya dalam pemenuhan kebutuhan. Riba memutuskan keterkaitan antara kekayaan dan usaha. Orang yang memperoleh manfaat  dari harta, ia telah mendapatkan kekayaan tanpa usaha. Riba menjadi sebab terpilahnya masyarakat ke dalam dua kelas yakni kelas produktif  dan kelas non produktif. Riba cenderung mengorbankan kelas produktif dan menjadikannya kelas non produktif. Pada gilirannya hal ini melemahkan kelas produktif bahkan menghapuskannya sehingga menyebabkan  hilangnya kesejahteraan masyarakat.[12] Istilah riba pertama kali diketahui berdasrkan wahyu  yang diturunkan pada masa awal risalah kenabiam Nabi Muhammad SAW di Makkah.  Pengharaman riba terdapat dalam Al-Quran yang disebutkan dalam ayat yang berbeda-beda yakni sebagai berikut :
1.    QS. Ar-Rum (30) : 39 
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah,dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah itu, maka (yang berbuat demikian) itulah orang – orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
2.    QS. An-Nisa (4) : 161
“…dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan  karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
3.    QS. Ali-Imran
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”. 
4.    QS. Al-Baqarah (2) : 275, 276
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah, Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
“Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”.


5.    QS. Al-Baqarah (2) : 278, 279
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu,kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Praktik membungakan uang (riba) biasa dilakukan oleh orang-orang secara pribadi atau oleh lembaga keuangan (termasuk bank). Orang atau badan hukum yang meminjamkan uang kepada perorangan atau menyimpan uangnya di lembaga keuangan biasanya akan memperoleh imbalan bunga atau disebut bunga meminjamkan atau bunga simpanan. Sebaliknya orang atau badan hukum yang meminjam uang dari perorangan atau lembaga keuangan diharuskan mengembalikan uang yang  dipinjam ditambah bunganya, bunga ini disebut bunga pinjaman. Dari peristiwa tersebut di atas dicatat beberapa hal sebagai berikut :
1.    Bungan adalah tambahan terhadap bunga yang disimpan apada lemabag keuangan atau yang dipinjamnkan.
2.    Besarnya bunga yang harus dibayar ditetapkan di muka tanpa melihat apakah lembaga keuangan penerima simpanan atau peminjam berhasil dalam usahanya atau tidak.
3.    Besarnya bunga yang harus dibayar dicantumkan dalam angka presentase atau angka perseratus dalam setahun yang artinya apabila utang tidak dibayar atau simpanan tidak diambil dalam beberapa tahun dapat terjadi utang itu atau simpanan itu menjadi berlipat ganda jumlahnya.
 Dari ketiga hal tersebut diatas tampak jelas bahwa praktik membungakan uang adalah supaya untuk memperoleh tambahan uang atas uang semula dengan cara :
1.    Pembayaran tambahan uang itu prakarsanya tidak datang dari yang meminjam
2.    Dengan jumlah uang tambahan itu besarnya ditetapkan di muka
3.    Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti apakah usahanya akan berhasil atau tidak dan apakah ia akan sanggup membayar tambahan dari peminjamnya itu
4.    Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan presentase sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus di bayar menjadi berlipat ganda.
Dengan memahami secara lengkap mekanisme operasional perbankan konvensional  maka akan terungkap secara jelas sejauh mana ktiteria riba dapat dipenuhi, seperti dalam penentuan besarnya tingkat bunga simpanan sampai kepada penggeseran biaya bunga pinjaman kepada penanggung yang terakhir. Hal ini tentunya harus dapat dihilangkan pada praktek perbankan syariah.

      Riba Dalam Praktek Perbankan Syariah
Dalam praktek perbankan syariah yang dijalankan belakangan ini banyak menimbulkan perdebatan tentang konsistensi penerapan hukum Islam terkait kegiatan bisnis bank syariah. Seperti konsep mudharabah ternyata dalam praktek tidak sesuai dengan pengertian syariah namun sebenarnya adalah akad utang-piutang yang dikalaim sebagai bagi hasil adalah sebenarnya riba.[13] Praktek produk mudharabah di bank syariah mengandung persyaratan kurang sesuai dengan syariah. Yaitu pihak mudharib (pengelola dana) diharuskan menjamin dana yang diberikan bank dari segala kerugian. Produk ini itjtihad baru mudharabah yang belum ada sebelumnya. Produk ini diberi nama mudharabah musytarakah, gabungan mudharabah dan musytarakah.
Mudharabah adalah transaksi penanaman dana oleh pemilik dana (shahibul mal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian hasil berdasarkan nisbah (hitungan berbasis angka/ prosentasi) yang disepakati kedua pihak sedangkan kerugian modal hanya ditanggung pemilik dana. Musytarakah berarti serikat, persekutuan, gabungan atau perkumpulan. Jadi mudharabah musytarakah hakikatnya mudharabah biasa yang dimodifikasi menjadi produk perbankan syariah dewasa ini.[14] Majma’ Al-Fiqh Al Islami (Divisi Fikih Organisasi Konfrensi Islam/OKI) mendefinisikan Mudharabah Musytarakah sebagaimana keputusan muktamar No 123 (5/13) 2001, Mudharabah Musytrakah adalah mudharabah dengan para pemilik dana terdiri atas orang banyak yang memberikan dananya untuk dikembangkan pihak kedua (bank) di sektor yang dianggap mendatangkan laba. Para pemilik dana mengizinkan pengelola menggabungkan dananya menjadi satu termasuk dana pengelola. Pengelola mengizinkan para pemilik dana menarik seluruh dananya atau sebagaian berdasarkan persyaratan tertentu.
Dalam keputusan muktamar itu juga dijelaskan hubungan pihak terkait dalam mudharabah musytarakah adalah gabungan para investor (shahibul mal) dan hubungan mereka satu dengan lainnya termasuk pengelola jika menggabungkan dananya juga adalah musytarakah. Penanggung jawab pengembangan dana adalah mudharib (pengelola) perorangan atau perseroan seperti bank dan lembaga keuangan syariah. Hubungan antara mudharib dan shahibul mal adalah mudharabah. Pihak pengelola dipercaya mengambil kebijakan serta mengatur investasi. Apabila mudharib mempercayakan ke pihak ketiga untuk mengembangkan dana, kebijakan tersebut merupakan mudharabah kedua antara mudharib pertama (bank) dan pihak ketiga, dan status bank bukan perantara antara pihak ketiga dan pemilik dana melainkan pemilik rekening investasi mudharabah.
Pada dasarnya hukum mudharabah musytarakah adalah mubah (boleh). Akan tetapi setelah mudharabah musytarakah diakui sebagai produk bank syariah, beberapa peneliti ekonomi syariah menambahkan persyaratan bahwa dana yang diserahkan oleh nasabah ke bank syariah untuk dikembangkan dalam akad mudharabah mendapatkan jaminan mudharib (sebagai bank pengelola dana nasabah), sebagaimana halnya diterapkan bank konvensional. Bahkan bukan hanya pokok dana tabungan yang dijamin karena termasuk juga bunga atau bonusnya. Para peneliti ekonomi syariah itu berpendapat dengan dalih mengqiyaskan mudharabah musytarakah dengan ajir musytarak (orang upahan yang bekerja memberikan jasanya untuk orang banyak, seperti penjahit yang menerima jahitan dari banyak orang).[15]
Ajir musytarak berbeda hukumnya dengan ajir khas (Orang upahan yang bekerja memberikan jasanya untuk orang tertentu, seperti supir pribadi). Ajir khas tidak diwajibkan mengganti kerugian pada barang yang digunakannya jika terjadi kerusakan/lenyap tanpa ada unsur kelalaiannya. Seperti kerusakan mobil ketika kecelakaan lalu lintas di luar kehendak supir pribadi. Pada kasus ini, supir pribadi tidak wajib mengganti kerusakan mobil. Berbeda dengan ajir musytarak, dia diharuskan menjamin semua barang para pengguna jasanya dalam kondisi bagaimanapun juga. Kecuali jika terjadi musibah umum seperti kebakaran yang menimpa took penjahit akibat jalaran api dari toko yang lain. Hal ini bertujuan agar ajir musytarak tidak semena-mena terhadap harta para pengguna jasanya. Dengan demikian mudharabah musytarakah dapat diqiyaskan (dianalogikan) dengan ajir musytarak, karena mudharib dalam hal ini (bank) menerima dana dari orang banyak. Agar bank tidak semena-mena terhadap dana masyarakat banyak bank diwajibkan menjamin pokok dana yang diterima masyarakat. Namun dalih yang digunakan peneliti ekonomi syariah ini tidaklah kuat karena tidak memenuhi persyaratan qiyas diantaranya :
1.    Hukum al-maqis alaihi (hukum untuk kasus ajir musytarak) disyaratkan harus disepakati mustadil (ulama yang setuju) dan mu’taridh (ulama yang tidak setuju). Dalam kasus ajir musytarak tidak disepakati ulama bahwa ia wajib menjamin barang pelanggan. Karena dalam mazhab para ulama lain ajir musytakah tidak wajib mengganti barang pelanggan jika rusak di luar kehendakya. Sehingga bagaimana mungkin kasus ajir musytarak dapat dijadikan acuan qiyas, sementara statusnya masih diperselisihkan.
2.    Qiyas semacam itu dinamakan qiyas ma’al fariq (analogi dua kasus yang hakekatnya berbeda), karena terdapat perbedaan antara ajir musytarak dan mudharabah musytarakah. Ajir musytarak mendapat imbalan yang disepakati di awal, adapun dalam mudharabah musytarakah pengelola mungkin mendapat laba dan mungkin tidak. Karena jika mudharib (bank) juga harus menjamin dana shahibul mal dapat dipastikan dia akan rugi berlipat ganda saat usaha mudharabah merugi.[16]
Dengan demikian, dalil yang dikemukakan para peneliti ekonomi syariah tersebut tidak dapat dipegang. Dan persyaratan bahwa bank syariah wajib menjamin dana nasabah pada kontrak mudharabah musytarakah ditentang keras para ulama. Sehingga Majma’ Al-Fiqh Al-Islami mengel;uarkan keputusan dalam muktamar ke-13 di Kuwait No 123 (5/3) 2001 yang menyatakan, “mudharib (pengelola) adalah pihak yang menerima amanah dia tidak menjamin dana bila terjadi kerugian atau dana hilang, kecuali dia melalaikan amanah atau ia melanggar peraturan syariah atau peraturan investasi. Hukum ini berlaku untuk mudharabah fardiyyah (perorangan) dan mudharabah musytarakah. Dan hukum ini tidak berubah dengan dalih mengqiyaskan dengan ajir musytara. Karena jika mudharib disyaratkan menjamin dana yang diterimanya dari kerugian, akad mudharabah berubah menjadi qardh (kredit). Dan ketika pihak pemberi dana menerima bagi hasil sesungguhnya dia menerima bunga (riba), karena akad mudharabahnya telah berubah menjadi akad pinjaman berbunga tidak tetap. Hal ini disepakati keharamannya oleh para ulama karena termasuk riba dayn. Dengan demikian jelas bahwa persyaratan menjamin dana dalam akad mudaharabah yang diterapkan oleh bank syariah merupakan sebuah persyaratan yang mengubah bagi hasil mudharabah menjadi riba.
PENUTUP
       Kesimpulan
Perbankan syariah dalam menjalankan aktivitas dibidang keuangan dewasa ini telah banyak mendapatkan keparcayaan dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam sebagai dasar operasional perbankan syariah menjadikan bank syariah sebagai lembaga keuangan yang tidak hanya menjadi milik umat Islam tetapi bank syariah pun mampu mengakomodir kepentingan keuangan seluruh umat. Namun dalam menjalankan kegiatannya bank syariah tidak terlepas dari perdebatan tentang masih adanya praktek yang mengandung riba di bank Islam ini. Al-Quran secara tegas dan jelas telah melarang praktek riba dan sangat diharapkan kegiatan perbankan syariah agar harus benar-benar besih dari praktek riba tersebut. Mudharabah musytarakah adalah salah satu  produk bank syariah yang kehalalannya masih diragukan dikalangan peneliti dan ulama serta disebut sebagi produk  yang mengandung riba dalam praktek perbankan syariah.

       Saran
Diharapkan untuk kedepannya dilakukan penelitian serta pengkajian kembali terhadap seluruh produk perbankan syariah yang diyakini masih belum bersih dari adanya praktek riba. Pengujian secara terbuka (Uji Publik) yang melibatkan Ilmuawan, Ulama dan Masyarakat terhadap seluruh produk perbankan syariah menurut penulis penting kiranya dimasukan sebagai salah satu tahapan sebelum produk-produk bank syariah tersebut di launching di tengah-tengah masyarakat. Sebagai negara dengan mayoritas umat Islam, Indonesia diharapkan dapat dijadikan lahan subur bagi tumbuh kembangnya perekonomian yang berbasis syariah terutama pada sektor lembaga keuangan (perbankan). Namun jika terdapat produk perbankan syariah yang tidak sesuai dengan kaidah Hukum Islam maka ini akan menjadi salah satu kelemahan yang bukan tidak mungkin menjadikan bank syariah gagal mendapatkan tempat di hati umat pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya.

Paper ini merupakan bahan Akademik pada Magister Kenotariatan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta 



[1]. Muhamad Sadi Is, Konsep Hukum Perbankan Syariah, Setara Press, Malang, 2015, hlm.10.
[2]. Ibid.
[3]. Wirdyaningsih Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, Hlm.16.
[4] . Muhamad Sadi Is, Op. Cit, Hlm. 12.
[5] . Ibid. Hlm. 158.
[6].  Wirdyaningsih Dkk, Op. Cit, Hlm.8.
[7].  Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta,  Alfabeta, 2006, Hlm.39-40.
[8] . Muhamad Sadi Is, Op.Cit, Hlm. 20-21
[9]. Ibid. Hlm 22.
[10]. Abdullah Saeed ,Bank Islam dan Bunga,  Yogyakarta,  Pustaka Pelajar, 2008, Cet III,  Hlm.34.
[11]. Wirdyaningsih Dkk, Op. Cit, Hlm.21.
[12]. Murtadha Muthahhari, Asuransi Dan Riba, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995, Hlm.15-17.
[13]. Erwandi Tarmizi, Mudharabah di Bank Syariah ; Berbagi Riba, Berkedok Syariah, Majalah Pengusaha Muslim Edisi  25 tanggal 25 Maret 2015, Hlm.28-30.
[14]. Ibid.
[15]. Ibid
[16]. Ibid.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed ,Bank Islam dan Bunga,  Yogyakarta,  Pustaka Pelajar, 2008
Erwandi Tarmizi, Mudharabah di Bank Syariah ; Berbagi Riba, Berkedok Syariah, Majalah Pengusaha Muslim Edisi  25 tanggal 25 Maret 2015
Muhamad Sadi IsKonsep Hukum Perbankan SyariahSetara PressMalang, 2015
Murtadha Muthahhari, Asuransi Dan Riba, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995
Wirdyaningsih Dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta,  Alfabeta, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar