Masih ingat kasus Ruben Pata Sambo ? Ya, Ruben
Pata Sambo dan anaknya Markus Pata Sambo adalah terpidana kasus pembunuhan yang
di vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Makale Tanah Toraja pada tahun
2006 dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2008. Kasus ini bermula pada
Desember 2005 menjelang Natal, terjadilah pembunuhan dan pembantaian satu
keluarga yakni Andarias Pandin (38 tahun ketika tewas), Martina Labiran (33
tahun), dan Israel (8 tahun anak pasangan Andarias dan Martina). Pembunuhan dan
pembantaian ini mengarah pada keterlibatan Ruben dan Markus berdasarkan motif
penguasaan tanah dan rumah adat atau Tongkonan (Toraja). Ruben dan Markus masih
mendekap di dua LP terpisah. Ruben berada di LP Kelas 1 Lowokwaru Malang,
sementara Markus si anak berada di LP Medaeng Malang Sidoarjo Jawa Timur. Pucuk
dicinta ulampun tiba, adalah Pdt Andreas Sutiono, pembimbing rohani Lapas
Lowokwaru, Kota Malang yang mendapatkan mandat dari Ruben dan Markus untuk
menyampaikan ke depan khalayak bahwa Ayah dan anak tersebut hanyalah korban
salah tangkap dari peradilan sesat yang ada di indonesia.
Menurut Pdt Andreas ada 30 Desember 2006, empat
orang yang ditangkap polisi membuat pernyataan tertulis bermeterai yang
menyebut bahwa Ruben dan anaknya bukan otak ataupun pelaku pembunuhan yang
terjadi di Tanah Toraja itu. Keempat orang itu mengaku sebagai pembunuh yang
sebenarnya. Yang membuat pernyataan adalah Yulianus Maraya (24), Juni (19),
Petrus Ta’dan (17), dan Agustinus Sambo (22). Mereka adalah warga Jalan Ampera,
Makale, Tanah Toraja. Keempat pelaku tersebut sudah menyesali perbuatannya dan
mengaku telah membunuh keluarga Andrias dan siap menerima hukuman setimpal,
namun pada tahun 2008, upaya Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung pernah
diajukan, namun ditolak oleh hakim M Hatta Ali, Dirwoto dan Djafri Djamal
(putusan PK No. 70/2008). Alasannya novum (bukti baru) yang diajukan bukanlah
bukti baru yang sudah pernah digunakan pada persidangan.
Berdasarkan penolakan PK tersebut maka Ruben
dan Markus tinggal menunggu kematian (eksekusi hukuman mati) terhadap kejahatan
yang sama sekali tidak pernah dilakukannya (jika merujuk terhadap pengakuan 4
Pembunuh sebenarnya diatas). Dari data dan fakta terkait dengan kasus Ruben dan
Markus diatas sungguh merupakan suatu ketidakcermatan Institusi Penegak Hukum
yang diberikan kewenangan melalaui undang-undang untuk menyelenggarakan proses
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penulis berkeyakinan bahwa peradilan
yang diselenggarakan pada kasus Ruben dan Markus di Tanah Toraja Sulawesi
Selatan belum memenuhi unsur fair trial sehingga belakangan ditemukan pelaku
yang sesungguhnya, apalagi berdasarkan laporan KontraS Selama
pemeriksaan/penyidikan di Kepolisian korban diperlakukan sangat buruk disiksa
dipaksa mengakui pembunuhan, ditelanjangi bahkan tangannya yang sedang patah
menjadi sasaran penyiksaan tersebut. Kedua terpidana diatas, adalah korban
rekayasa kasus. Rekayasa terjadi pada Pertama, tuduhan terhadap Ruben sebagai
dalang pembunuhan berencana tingkat I, sejumlah saksi tidak pernah dihadirkan
ke persidangan di Pengadilan Negeri Makale, kesaksian menggunakan “pengakuan”
terdakwa saat di Kepolisian. Pengakuan ini penuh dengan rekayasa dan intimidasi
oleh anggota Kepolisian Polres Makale Tanah Toraja, sejumlah kekerasan terhadap
Ruben dan Markus dipengadilan dan dipenjara yang secara sengaja dilakukan dan
disponsori oleh anggota Polisi dan petugas LP. (Lap KontraS 13-06-2013).
Mengapa harus hukuman mati? inilah pertanyaan
yang selalu menggoda syahwat intelektual penulis untuk melakukan penetrasi
sosiologis maupun filosofis agar terus mempelajari effect/ekses buruk dari
hukuman yang oleh sebagian teman-teman penulis menyebutnya sebagai hukuman
“Jahiliyah” ini. Tidak ada manusia dimuka bumi ini apalagi manusia waras,
sehat, bermoral nan agamis yang mendukung pembunuhan berencana, peredaran
narkoba secara massif, human trafficking, terorisme dan kejahatan luar biasa
lainnya, namun penerapan hukuman mati sebagai bentuk pembalasan dendam terhadap
semua kejahatan luar biasa tersebut harus kita bicarakan lagi dengan kepala
dingin dan akal sehat. Penulis tidak akan menggunakan banyak telaah
yuridis-normatif apalagi agamis yang telah banyak disebutkan dalam berbagai
debat untuk hal ini, yang hanya ingin penulis lakukan adalah menggungah nurani
kita semua (secara Intelektual) untuk tidak menjadikan hukuman mati sebagai
alat legitimasi terhadap keberhasilan pemberantasan kejahatan luar biasa.
Cesare
Beccaria (1764) bahkan menulis hukuman (pidana) mati tidak manusiawi dan tidak
effektif (inhumane and ineeffective), apalagi dalam kondisi hukum negara yang
belum sepenuhnya baik secara sistem. Apa buktinya belum baik secara sistem?
Corak sistem hukum eropa kontinental tentunya berkiblat kepada belanda dan
perancis sebagai pioner, apalagi dikuatkan dengan asas konkordasi, namun kiblat
Eropa Kontinental terkait pelaksaanaan hukuman mati berubah pada tahun 1983. Di
Belanda hukuman mati telah dihapuskan sejak tahun 1983. Prancis lebih awal lagi
menghapuskan pidana mati pada 1981.Kedua negara tersebut adalah asal-usul KUHP.
Pada awalnya, pidana mati di Belanda telah dihapus berdasarkan undang-undang
tanggal 17 September 1870,Stb 162. Namun,untuk hukum pidana militer tetap dipertahankan,
khususnya untuk kejahatan berat yang dilakukan pada masa perang.Berdasarkan
sejumlah peraturan pemerintah yang dibuat Pemerintah Belanda dalam pengasingan
di London pada masa berlangsungnya Perang Dunia II, pidana mati kembali
dicakupkan ke dalam hukum pidana Belanda. Khususnya diterapkan pada pelaku
delik-delik tertentu (kejahatan perang, pengkhianatan,dan lain-lain) yang
terjadi di masa pendudukan. Kemudian berdasarkan amendemen undang-undang dasar
yang diberlakukan pada tanggal 17 Februari 1983 (Pasal 114) ditetapkan bahwa
pidana mati (oleh hakim) tidak dapat lagi dijatuhkan. Hal ini mengimplikasikan
kenyataan bahwa perundang-undangan di bawah undang-undang dasar harus
diselaraskan dengan larangan tersebut. Penyelarasan tersebut sudah menjadi kenyataan,bahkan
juga dihapuskan pengenaan hukuman pidana mati dalam hukum pidana militer (Dr
Frans H Winarta “Hukuman mati bukan solusi”).
Memang betul sebagian kalangan memiliki
argumentasi bahwa sistem hukum belanda dan perancis harus dibedakan secara tegas
dengan sistem hukum indonesia karena sistem hukum di indonesia mendasari
pada filsafat pancasila yang di-mixed dengan hukum eropa kontinental,
pertanyaan kemudian muncul, apakah benar Pancasila kita meng-Halal-kan Hukuman
mati?, penulis pikir esensi kemanusiaan yang adil dan beradab wajib hukumnya
mengenyampingkan hukuman yang tidak civilized. Hal selanjutnya yang patut
dipertimbangkan dalam penerapan hukuman mati di indonesia adalah struktur hukum
(penegak hukum) yang belum sehat secara “mental”, buktinya? Kembali ke kasus
Ruben dan Markus, sungguh ini merupakan perampasan HAM secara terang-terangan
bahkan menggunakan jalur yang resmi (peradilan/pengadilan). Siapa yang berani
menjamin bahwa rekayasa kasus tersebut tidak akan terjadi di kehidupan orang lain
termasuk anda, mereka, kalian, dia, ataupun saya? Hanya seekor kambing yang
rela disembelih tanpa kesalahan. Kasus serupa juga pernah terjadi pada kasus
“salah vonis” Sengkon dan Karta pada tahun 1970’an, penyiksaan oleh aparat
kepada Marsinah (pejuang hak buruh), dan pembunuhan keji wartawan Udin,
segelintir kasus kelam tersebut telah cukup untuk menunjukan bahwa sistem dan
struktur (aparat) hukum peradilan di Indonesia masih jauh dari kata “beres”
apalagi “adil” (Niesrina Nadhifa, Meragukan hukuman mati).
Belakangan yang menjadi titik utama perhatian
publik indonesia mengarah kepada beberapa terpidana mati kasus narkotika yang
sering disebut bali nine. Sebanyak delapan terpidana mati yang telah
dieksekusi, adalah Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran
(Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Rodrigo
Gularte (Brazil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin
Anderson alias Belo (Ghana), dan Okwudili Oyatanze (Nigeria). Pertanyaan yang
lagi-lagi muncul dibenak penulis adalah apa betul mereka semua ini adalah main
player dibidang peredaran narkoba dan apakah struktur (dan sistem) hukum yang
mengawal dan mengawasi kasus mereka ini sudah “beres” dan “adil”? penulis
kemudian merujuk kepada rubrik hukum pada jurnal DW Akademie yang ditulis oleh
Grahame Lucas Pimpinan Redaksi South-East Asia DW yang menjelaskan “bahwa untuk
bisa membenahi sistem yang korup, yang terutama dibutuhkan adalah sistem
peradilan yang adil dan bersih. Salah satu argumen terkuat menentang hukuman
mati justru, karena sistem hukum dimana sanksi itu diterapkan sering korup,
penuh manipulasi dan tidak adil, Pengacara duo #BaliNine sekarang
mengungkapkan, ada hakim yang menuntut bayaran sampai 130.000 dolar dengan
janji bahwa kliennya akan lepas dari hukuman mati dan mendapat ganjaran 20
tahun penjara. Ini tampaknya harga untuk satu nyawa terpidana asing di
Indonesia. Pejabat tinggi Indonesia juga ada yang mengatakan, eksekusi mati
harus dilaksanakan, apapun hasil pengadilan banding. Semua ini menunjukkan, ada
yang tidak beres dalam sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia.
Akibatnya, hukuman mati seringnya diterapkan kepada mereka yang tidak punya
uang, daripada terhadap orang kaya. Ini juga terlihat dari kasus pembantu rumah
tangga asal Filipina, Mary Jane Veloso.
Dari laporan-laporan yang ada hingga kini,
makin jelas bahwa perempuan ini adalah korban penipuan sindikat narkoba.
"Kejahatannya" berasal dari kenaifan, tidak lebih dari itu”. Dan
tentunya mereka semua ini hanyalah Buruh (kurir) yang mungkin hanyalah rayap
yang mencari sesuap nasi dari sisa kayu busuk (Narkoba). Apakah berani!,
mafia, bandar kakap, main player dengan segala kuasa mereka,ditangkap dan
dieksekusi mati oleh pemerintah kita? Maka dari itu sungguh kejam apabila
ketidakbecusan dalam menangani ikan besar kemudian menjadikan ikan kecil
sebagai alat politik nasionalisme seperti yang dikatakan oleh Lucas bahwa
“Jokowi (Pemerintah) bukan hanya tidak punya agenda efektif untuk menanggulangi
masalah narkoba,dia juga memanfaatkan eksekusi mati sebagai isu politis dan
memainkan kartu nasionalisme”.
Hal ini juga akan menyulitkan Posisi/daya tawar
pemerintah Indonesia untuk berdiplomasi dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap WNI yang juga akan dieksekusi mati di beberapa negara lain. Untuk itu
penulis mengajak kita semua untuk kembali merenung sejenak dengan tidak
emosional dan mulai mempertimbangkan pemberlakuan kembali Moratorium penerapan
hukuman mati yang pernah diberlakukan pada periode sebelumnya sembari
memperbaiki sistem dan struktur hukum dengan spirit fair trial yang berkeadilan
dan berdasarkan hukum universal tanpa menegasikan peran Pancasila sebagai Norma
dasar berkehidupan rakyat Indonesia yang sudah tentu mendesak dan urgent.
Informasi terakhir yang di dapat bahwa penundaan eksekusi Mary Jane disebabkan
oleh Maria Kristina Sergio, tersangka perekrut Mary Jane, telah menyerahkan
diri kepada polisi Filipina, Selasa (28/4/2015). Berdasarkan laporan
sebelumnya, Sergio, serta pasangannya, Julius Lacanilao, dan seorang pria lain,
yang dikatakan keturunan Afrika dan diidentifikasi hanya sebagai Ike, merupakan
orang-orang yang merekrut Mary Jane. Mereka menjanjikan kepada Mary Jane
pekerjaan di Malaysia, sebelum memintanya untuk menuju Indonesia dengan membawa
2,6 kg heroin yang dalam persidangan Mary Jane mengaku sama sekali tidak
mengetahui isi tasnya (Kompas 29-04-2015), inilah yang menjadi faktor
ditundanya pelaksanaan eksekusi Mary Jane yang direncanakan akan dieksekusi
bersama Andrew dan Myuran.
Sekali lagi menunjukan ada keragu-raguan dalam
proses hukum terpidana mati ini. Seandainya Mary Jane sudah dieksekusi bersama
terpidana mati yang lainnya dan ditemukan fakta baru bahwa yang bersangkutan
tingkat kesalahannya tidak masuk dalam kualifikasi pelaku yang harus dijatuhi
hukuman mati maka upaya hukum apa yang harus digunakan untuk mengoreksi
kesalahan ini ? Tinggal menghitung detik Mary Jane Veloso akan menyusul
rekan-rekannya yang telah duluan dieksekusi dan yang paling miris dan
menyayat hati adalah tidak lama lagi Ruben Pata Sambo dan anaknya Markus Pata
Sambo Putra Sulawesi dan Rakyat Asli Indonesia akan dihantam oleh timah panas
yang berasal dari bedil regu tembak/eksekutor atas kesalahan yang tidak pernah
dilakukan mereka. Apakah ini akan menjadi tontonan dan drama menarik bak opera
sabun bagi rakyat Indonesia terhadap sesamanya ataukah menjadi pelajaran yang
berharga tentang bagaimana cara kita ber-Hukum yang sesungguhnya. Mungkin
inilah yang mendasari celoteh Mahatma Gandhi bahwa “jika mata di balas mata
maka dunia akan buta”. Mungkin tulisan singkat ini tidak cukup untuk
menjadi pertimbangan diberlakukanya kembali Moratorium hukuman mati, tetapi
paling tidak tulisan ringan dan sederhana ini bisa menjadi hadiah terakhir
(Kado) serta penghiburan bagi Mary Jane Veloso, Ruben, Markus Pata Sambo dan
terpidana hukuman mati lain yang menunggu eksekusi. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar